Mohon tunggu...
Sarwo Prasojo
Sarwo Prasojo Mohon Tunggu... Angin-anginan -

Suka motret, tulas-tulis dan ini itu. Dan yang pasti suka Raisa

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Pencuri yang Tak Sempat Mencuri

15 Januari 2019   15:54 Diperbarui: 15 Januari 2019   19:27 197
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Baginya mencuri itu lebih jantan daripada mendapat pemberian.  Tapi, apakah ini yang disebut rejeki tak terduga? Ia bertanya-tanya dalam hati.

"Saya berhutang budi malam ini. Dan saya berharap kamu seringlah ke mari barang sejenak. Kapan saja sesela waktumu."

"Semoga, Mbah."

Kantong perhiasan itu sudah berpindah tangan.  "Terimakasih, Mbah.  Terimakasih sekali," ujar lelaki itu.  Dimasukkanlah barang itu ke dalam kantung celana sebelah kanan.  Dan ia diizinkan pulang. "Hati-hati di rumah, Mbah. Saya pasti ke sini lagi. Permisi."

***
Lelaki pencuri itu masih dalam perjalanan kembali ke rumah.  Waktu subuh telah berlalu. Dia melangkahkan kaki dengan tenang. Seperti mengambang.  Hatinya penuh gelora.  Ia bersyukur niatnya mencuri tidak terlaksana. Setidaknya dosanya tidak bertambah.  

Dia pegang erat benggolan dalam saku celana kanannya. Memastikan perhiasan itu masih ada. Dibayangkan olehnya leher panjang istrinya. Daun telinga dan pergelangan tangannya juga.  Lelaki itu tak sabar ingin mengenakan perhiasan itu pada perempuan belahan jiwanya.  Dan dia tersenyum. Terus tersenyum.

Sampai beberapa hari orang yang dikira Kadirun itu tak juga datang.  Tapi perempuan itu tampaknya membiarkan saja.  Tidak penting lagi dia ke sini.  Toh sebagai janda dia sudah  biasa sendiri.

Tentang perhiasan itu.  Biarkanlah. Sudah lama ia ingin melenyapkan perhiasan emas itu.  Dia ingin mati tanpa dibebani peninggalan suaminya.  Yang diberikan kepadanya saat suaminya menjabat Kepala Desa.  Dari Pak John, kata suaminya.  Dirinya enggan bertanya kenapa ia diberi perhiasan.  Hanya suaminya bilang, ucapan terimakasih karena dia sudah memberi izin membuka usaha pemecah batu di desanya.  Dan dirinya merasa sesak di dada karena barang itu.  Tak sekali pun ia kenakan pada tubuhnya.  Ia malu.  Pada akhirnya kegiatan pemecah batu yang menggunakan mesin itu sering diprotes warga.  Dan suara-suara miring tentang suaminya deras hinggap ke telinganya.

Pbg, 15 Januari 2019

S_pras

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun