"Cukup, Kadirun. Â Sudah mendingan sekarang."
Lelaki itu menyudahi pijitannya. Â Dan dia duduk di tepian tempat tidur. Â Bau pesing masih lamat-lamat menembus hidungnya.
Pencuri itu mulai gelisah. Â Ayam sudah mulai berkokok. Â Subuh sejenak akan datang. Â Dan seperti biasa dia harus bergegas pulang. Â Tapi ia masih dibuat bingung oleh keputusannya malam ini. Â
"Sepertinya kamu ingin pergi?"
Sontak lelaki itu menjawab: Ya, Mbah.
Perempuan tua ini menjanda sudah sepuluh tahun. Â Dua anaknya sudah meninggal. Satu anak perempuannya ikut suami. Â Dan perempuan ini enggan ikut bersama anaknya itu. Â Ia lebih leluasa di rumahnya. Tak mau merepotkan keluarga anaknya. Â Beberapa kali anaknya setengah memaksa untuk tinggal bersama. Â Tetap saja ia menolaknya.
Ia berkata kepada lelaki itu. Â "Kamu mau kan tiap hari ke sini? Sekedar menengok saja, saya sudah senang. Â Kamu nanti akan tua seperti saya. Kelak akan tahu rasanya jadi orang tua begini."
Lelaki itu lagi-lagi hanya mengangguk. Â Tak juga ada kata yang terlontar. Â Di luar sana kokok ayam makin terdengar bersahutan. Embun beriringan jatuh ke dahan dan ranting pohon. Â Sedang lelaki itu tak juga bisa beranjak dari rumah si perempuan tua.
Dalam diamnya, lelaki itu melihat tangan perempuan tua bergerak. Â Mengambil sesuatu dari bawah bantalnya. Â Sebuah kantung kain putih selebar saku yang ujungnya bertali kain berwarna sama. Â Dalam genggaman tangan, ia menunjukkan pada lelaki itu.
Dengan ilmunya, lelaki itu sudah tahu isi kantung kain putih. Â Hatinya mengembang. Ini yang saya incar, batinnya.
"Kadirun, ini ada perhiasan emas. Saya titipkan ke kamu saja. Â Anak saya nggak butuh. Dia juga nggak tahu tentang barang ini."
Lelaki itu seperti salah dengar. Â Tapi mulut perempuan itu bersuara,"Nanti ini kamu bawa, Kadirun." Lelaki itu menjawab singkat: Ya, nanti.