Pencuri itu lantas minta izin keluar kamar barang sejenak. Â Langkahnya melanglang ke beberapa ruang. Matanya menelisik pada tiap sudut lemari dan tempat lain. Â Mencari kemungkinan barang apa yang bisa dibawa pulang. Â Barang yang kecil tapi berharga.
"Kadirun, sini!"
Agaknya ada panggilan padanya. Â Ia hampir lupa tadi sudah mengaku sebagai Kadirun. Â Serta-merta ia kembali ke kamar itu.
"Kamu ambil pispot di kamar mandi. Saya kebelet kencing!"
Lelaki ini mengiyakan. Â Segera pispot itu diambilnya. Â Ia membuka pintu dan masuk kamar. Â Jangan jauh-jauh dari sini, kata perempuan itu lagi. Nanti kamu mesti langsung buang air kencing ini dan cuci pispotnya.
Dia tak menyahut. Â Keluar dan dari balik pintu kamar ia menanti sambil berdiri. Â Matanya menyorot sekitar ruangan. Pencuri ini mulai menggerutu. Â Lebih baik saya tinggal pergi saja, ucapnya, daripada jadi pembantu begini.
Dia masuk kamar setelah ada panggilan dari perempuan itu. Hidungnya menahan nafas. Â Aroma pesing perempuan tua itu amat menyengat. Â Dia hampir muntah
dan sekuat tenaga ditahannya mual dalam perutnya. Â Dengan menjinjing pispot, dia keluar kamar setengah berlari menuju kamar mandi. Â Pispot itu dilempar dan dibiarkan terjungkal memuntahkan isinya. Â Di luar kamar mandi ia bernafas banyak-banyak. Â "Sialan!"
Jikalau mau, dia bisa langsung minggat saja dari rumah itu. Â Tapi masih belum tega kelihatannya. Â
Pencuri itu masuk lagi ke kamar. Â Perempuan tua itu memintanya memijit-mijit tubuhnya. Â Dari kaki hingga punggung. Â "Dipijiti orang lain itu lebih enak, Kadirun."
Lelaki ia mengiyakan saja. Â Kepalanya manggut-manggut. Â Hatinya ngedumel. Â "Sontoloyo, tengah malam begini jadi tukang pijit."
Ia memijit sekenanya, ia hanya menyandarkan rasanya saat dipijit istrinya. Ia tak menekan keras-keras pada tubuh perempuan itu. Tangan lelakinya kasar dan berotot. Â Selembut kemampuannya dia memijit perempuan tua itu.