“Aku sudah menyiapkan kamera. Tinggal sentuh. Siap seribu persen mengambil gambar Presiden dalam jarak dekat. Atau bila mungkin berdiri dan mendempet Presiden… kemudian: Tul….! Sekian detik, gambar Presiden dan aku ada dalam layar smartphone.”
Aku mendengar dengan separuh hati. Tapi menyimpan tawa agar tidak menguap. Ia bisa tersinggung.
Kau tahu? katanya sambil menatap wajahku. Jika foto diriku dan presiden terabadikan kamera, itu akan menjadi momen puncak yang tak tergantikan dari peristiwa gembira apapun yang pernah aku alami di negeri rantau ini. “Akan kucetak dalam ukuran besar dan ditaruh pada dinding kamar. Tiap waktu aku bisa melihat pajangan foto itu. Dan foto besar itu pun bisa menatapku dalam-dalam; saat tertidur, saat melamun, bahkan saat buka baju di dalam kamar. Itu sesuatu banget untukku. Rasanya, Presiden bisa mengintaiku suka-suka.”
Aku mendehem. “Sudah?”
Sudah berulangkali dia berkata padaku, kelak jika aku dan dia menikah, bersikaplah sebagaimana kepala negara. Aku berjalan dengan gagah dan dia mendampingi, ungkapnya. Kemana pun, inginnya, kami merasa dekat. Dan dia sangat terobsesi dengan kemesraan Presiden dengan perempuan pendampingnya.
“Bukankah kau ingin seperti itu?” tanyanya.
Aku tidak mengelak bahwa aku ingin seperti itu. Seperti Kepala Negara dengan First Ladynya. Seperti Presiden dengan istrinya. Seperti yang terlihat dalam pemberitaan berbagai media. Tapi aku merasa dada ini sesak. Aku lelaki yang tak bisa mengumbar kemesraan di hadapan publik. Aku ini pendiam. Bahkan bilamana ada orang menyebutku introvert, sesungguhnya hal itu ada benarnya.
Kemesraanku hanya untuk kami berdua. Itu pun bila kelak menikah. Sekarang ini, pada masa kedekatanku dengannya sebagai kekasih, aku menjaga agar tidak bermesraan. Sehasrat apapun mengusik-usik keinginan, aku berjuang agar aku tidak menjadi lelaki radikal dalam asmara. Aku mengekang itu, walau kadang harus meluber dalam mimpi. Dan aku harus terperanjat manakala terbangun!
“Jika kelak kita bisa membangun rumah tangga dan hidup mapan. Aku mendukungmu untuk terjun dalam politik,” perempuan itu bersuara lagi.
“Aku tidak tertarik.”
Belajarlah dari tokoh tokoh besar dunia: Napoleon, Kennedy, Nelson Mandela, Bung Karno. Mereka adalah kaun lelaki yang besar karena dorongan perempuan pendamping hidupnya, ujarnya. Ia menjelaskan dengan wajah yang mulai benderang. Agaknya, kesalnya mulai menipis setelah aku sodorkan segelas jus melon kesayanganya beberapa waktu lalu. Ia rakus menyedot.