Aku mengiyakan, kala ia menghubungiku lewat WA: Minggu kita nongkrong. Di tempat biasa.
Ketika kami bertemu kembali di bangku taman, ia duduk dengan wajah muram. Kacamata bening yang mestinya kutatap agar bisa melihat hitam bola matanya terimbas buram. Bibirnya tak lagi merekah merah menyala, tapi merah kusam. Segalanya kusam. Semua terasa tak enak dipandang. Bulu mata lentik, yang belalang pun sering tergoda ingin mendarat, seakan layu seperti bunga putri malu yang tersentuh sesuatu.
Jika beberapa waktu kemarin ia melonjok girang karena mendapatkan tiket untuk bertemu Presiden, kini kegirangannya luntur seperti masuk dalam kubangan lumpur. Rasanya sepet. Akhirnya, tak ada yang bisa aku sembunyikan lagi, aku jengah jika harus berlama-lama duduk berdua dalam diam yang tak berkesudahan.
Aku, tanpa dia harus mengungkapkan, sudah bisa menebak-nebak. Perempuan ini tengah menggenggam kesal dengan besaran yang sewaktu-waktu butuh wahana untuk meledakkan kekesalan itu. Dari akun facebook miliknya, aku tahu, momen untuk berjabat tangan dengan Presiden kesayangan dan juga ibu negara pupus.
Ia menulis dalam statusnya: Tinggal jarak dua atau tiga meter lagi, aku bisa bersalaman. Kemudian mengambil gambar. Tapi seketika itu semua berantakan….!
“Anda saja semua yang dibelakang sabar. Mau diatur. Pasti situasi tidak seperti itu.” Dia mengenang suasana pertemuan Presiden dengan buruh migran yang gaduh. Dan akhirnya pihak keamanan mengambil tindakan mencegah hal yang buruk. Suasana gedung sudah di luar dugaan.
Perempuan yang ada disampingku ini mendapatkan tiket dengan perjuangan yang melelahkan. Dia mesti bersaing dengan buruh migran yang puluhan ribu jumlahnya. Jika bukan kali ini, tentu harus menunggu untuk waktu yang tidak akan diketahui lagi kapan terjadi. Ia berujar pada teman-temannya beberapa minggu, mungkin dua minggu, setelah tahu ada pemberitaan bahwa Presiden akan mengunjungi Hongkong: Aku akan hadir, apakah kalian juga ikut?
Ia beruntung, pada baris kedua ia mendapatkan kursi. Barisan yang sangat memungkinkan untuk lebih bisa menempelkan tangannya dengan tangan presiden saat melewat mendekat hadirin. Sedangkan aku sendiri bertanya dalam hati: Apa bedanya tanganku dengan tangan Presiden? Apa bedanya pula tanganmu dengan tangan ibu negara?
Aku masih saja menunggu, agar perempuan ini membuka, memulai pembicaraan. Asal tahu, lelaki sepertiku merasa keji kalau harus memecah kekesalan perempuan. Aku menunggu sebatas kesabaranku dan membiarkan kekesalannya meleleh sendiri. Mencair. Dan kesal itu menguap oleh panas hari ini. Atau menetes ke rerumputan taman kota dan membuat kelembabannya terjaga.
“Kau tahu? Siapapun akan kecewa jika berada di posisiku. Semua jadi bubar. Segalanyanya jadi berantakan. Meraka tak sabar….”
Ia membuka diri. Mungkin ia tak enak juga bila berlama-lama dalam hening, sedangkan waktu terus beringsut tak peduli dengan perasaan yang membuncah pada dirinya. Juga perasaanku.
“Aku sudah menyiapkan kamera. Tinggal sentuh. Siap seribu persen mengambil gambar Presiden dalam jarak dekat. Atau bila mungkin berdiri dan mendempet Presiden… kemudian: Tul….! Sekian detik, gambar Presiden dan aku ada dalam layar smartphone.”
Aku mendengar dengan separuh hati. Tapi menyimpan tawa agar tidak menguap. Ia bisa tersinggung.
Kau tahu? katanya sambil menatap wajahku. Jika foto diriku dan presiden terabadikan kamera, itu akan menjadi momen puncak yang tak tergantikan dari peristiwa gembira apapun yang pernah aku alami di negeri rantau ini. “Akan kucetak dalam ukuran besar dan ditaruh pada dinding kamar. Tiap waktu aku bisa melihat pajangan foto itu. Dan foto besar itu pun bisa menatapku dalam-dalam; saat tertidur, saat melamun, bahkan saat buka baju di dalam kamar. Itu sesuatu banget untukku. Rasanya, Presiden bisa mengintaiku suka-suka.”
Aku mendehem. “Sudah?”
Sudah berulangkali dia berkata padaku, kelak jika aku dan dia menikah, bersikaplah sebagaimana kepala negara. Aku berjalan dengan gagah dan dia mendampingi, ungkapnya. Kemana pun, inginnya, kami merasa dekat. Dan dia sangat terobsesi dengan kemesraan Presiden dengan perempuan pendampingnya.
“Bukankah kau ingin seperti itu?” tanyanya.
Aku tidak mengelak bahwa aku ingin seperti itu. Seperti Kepala Negara dengan First Ladynya. Seperti Presiden dengan istrinya. Seperti yang terlihat dalam pemberitaan berbagai media. Tapi aku merasa dada ini sesak. Aku lelaki yang tak bisa mengumbar kemesraan di hadapan publik. Aku ini pendiam. Bahkan bilamana ada orang menyebutku introvert, sesungguhnya hal itu ada benarnya.
Kemesraanku hanya untuk kami berdua. Itu pun bila kelak menikah. Sekarang ini, pada masa kedekatanku dengannya sebagai kekasih, aku menjaga agar tidak bermesraan. Sehasrat apapun mengusik-usik keinginan, aku berjuang agar aku tidak menjadi lelaki radikal dalam asmara. Aku mengekang itu, walau kadang harus meluber dalam mimpi. Dan aku harus terperanjat manakala terbangun!
“Jika kelak kita bisa membangun rumah tangga dan hidup mapan. Aku mendukungmu untuk terjun dalam politik,” perempuan itu bersuara lagi.
“Aku tidak tertarik.”
Belajarlah dari tokoh tokoh besar dunia: Napoleon, Kennedy, Nelson Mandela, Bung Karno. Mereka adalah kaun lelaki yang besar karena dorongan perempuan pendamping hidupnya, ujarnya. Ia menjelaskan dengan wajah yang mulai benderang. Agaknya, kesalnya mulai menipis setelah aku sodorkan segelas jus melon kesayanganya beberapa waktu lalu. Ia rakus menyedot.
“Kau tahu, menjadi pekerja politik dekat sekali dengan intrik. Manipulasi. Dan sesuatu yang abu-abu, yang kamu sendiri sulit untuk memahami.”
Dia hanya menatapku.
“Aku takut korupsi,” kilahku. “Apa kamu ingin, kelak punya suami mantan penghuni terali besi. Punya anak yang mencatat bapaknya pernah dipenjara?”
“Tapi, semua tergantung kita sendiri….” Ujarnya.
Tergantung? Ya, tergantung kekuatan masing-masing. Dan aku mengukur diri: Tidak kuat dengan godaan dalam politik dan kekuasaan.
Ia masih berkutat dengan impiannya. Dan aku tidak perlu harus merangsak mematahkan ucapan-ucapannya. Percuma. Melawan perempuan adalah keniscayaan bahwa ia akan memenangkan pertarungan. Dan, sebagai lelaki, aku hanya akan menikmati kesia-siaan jika melayani.
“Beberapa hari yang lalu, ketika aku sudah mendapat tiket untuk temu kangen dengan Presiden, aku bermimpi. Mimpi yang membuatku melonjak dari ranjang dan hampir mengena langit kamar,” ucapnya tanpa melirikku. Ia lurus menatap langit. Langit sedikit awan. Angin lamat-lamat menerpa kami berdua.
Ah, bombastis, gumamku.
“Aku bermimpi, kau memenangi pertarungan pemilihan presiden. Kemudian tinggal di istana. Dan kita menjadi sorotan orang banyak. Sampai aku kurang tidur dengan karena mendampingimu. Tapi aku senang tiada berbilang.”
Sedemikian besar obsesi perempuan ini, hingga seperti tiada jeda agar aku bisa bicara mengalihkan topik.
Untung, cuaca mendadak berubah. Rintik hujan jatuh dari langit, sepertu tahu yang tengan bergemuruh dalam dadaku bahwa aku muak dengan mimpi kekasihku ini. Hingga kemudian, kami pulang menggunakan bus kota menuju penginapan kami masing-masih.
“Sampai bertemu lagi.”
Dan, aku hanya menjawab pendek: Ya….
Aku langsung memburu kamar mandi, ingin sesegera membersih diri. Menikmati kucuran air dan membasahi sekujur tubuh. Karena, kesegaran itu kembali muncul ketika air dingin lembut mencumbui kulitku yang kendatipun tak halus, tapi enak dipandang, begitu kata kekasihku.
Kutatap cermin kamar mandi. Cermin yang buram, seperti wajah kekasihku saat awal bertemu tadi. Cermin yang sering terciprat air sabun. Cermin yang sudah berhari-hari tak lagi mendapat belaian kain pembersih, hingga yang menatapnya terasa asing dengan gambar yang terpantul.
Aku menatap lama-lama cermin itu. Wajahku tak sepenuhnya hadir. Aku mengingat kembali cerita mimpi bombastis kekasihku. Aku katakan pada cermin itu, cermin yang buram: Apa kabar Pak Presiden....!!!!
Aku terperanjat. Cermin itu seketika retak.
Buat Biyanca Kemlin di Hongkong
S_Pras, BC 3 Mei 2017
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H