Mohon tunggu...
Sarwo Prasojo
Sarwo Prasojo Mohon Tunggu... Angin-anginan -

Suka motret, tulas-tulis dan ini itu. Dan yang pasti suka Raisa

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Yang Muda yang Office Boy

1 Mei 2017   09:02 Diperbarui: 1 Mei 2017   15:39 1317
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Merasa buruh atau bukan, Anda tetap layak menyimak kisah ini

JANGAN  salahkan bunda mengandung, hanya karena sekarang dia menjadi OB: Office Boy.  Bukan pula yang ia cita-citakan, lantas  berarti kini terwujud.  Ini hanyalah memanfaatkan kesempatan yang ada.   Dan dia menjadi OB di bank terkenal.  Jadi, biarpun statusnya OB, bila ada orang bertanya: kamu kerja di mana? Dia  akan bisa menjawab: di Bank ITU.  Dan orang percaya saja, setidaknya begitu, dari baju kerja yang dikenakan, lantaran bertuliskan Bank ITU.

Bank ITU yang ada di depan rumahku hanyalah anak cabang.  Menempati bangunan satu lantai.  Tidaklah terlalu luas, memang.  Karyawan pun tak lebih dari sepuluh orang. 

Sebenarnya, letak Bank ITU tidak tepat benar di depan rumahku.  Agak ke selatan sedikit.  Kira-kira sejauh sepuluh meter.  Menghadap ke barat; diapit oleh minimarket, pada sisi kiri.  Di kanannya ada kios pakaian dan warung bakso. 

Dari ruang depan rumah,  lewat balik kaca jendela,  aku bisa jelas melihat aktivitas sisi depan Bank ITU.  Termasuk si Office Boy-nya. Namanya Tolo.  Tingginya sekitar 170 senti dan tidak bisa dibilang gemuk. Berkulit sawo matang, tapi cenderung  gelap.  Potongan rambutnya kekinian sebagaimana anak muda: semi mohawk.  Pada awalnya aku melihat, dari tampilannya, ia laki-laki muda yang rajin.  Namun, penjaga malam Bank ITU berkata padaku: si Tolo pemalas!  

Sepertinya aku kecele, tertipu pada tampilan luar.

Suatu hari, aku berkunjung ke sebuah toko buku dan kertas.  Di sana pula menyediakan jasa fotocopy.  Pemilik toko, yang temanku itu bertanya padaku: “Kamu kenal OB Bank ITU?”  Aku menjawab: Ya.  Ia anak baru masuk kerja.  Sekitar  dua minggu lebih, jelasku kemudian. 

“Ada apa dengan dia?” tanyaku balik .

“Dia kemarin fotocopy ke sini.  Terus minta nota.  Minta juga dibesarkan jumlah uangnya.  Aku nggak mau.”  Mungkin temanku ini tak mau ikut menanggung dosa.

“Biar  karyawan kontrak,  gaji OB kan lumayan?”

“Katanya buat nambah beli rokok.” Temanku geleng kepala.

Suatu pagi aku menjumpai penjaga malam Bank ITU mengelap kursi tunggu  teras bank.  Bank belum buka, belum masuk jam kerja.  Tapi, sebagai penjaga malam mestinya ia sudah bebas kerja, karena jam menunjuk angka 07.00,   dan si OB mestinya sudah datang.  Karena belum hadir, terpaksa ia mengepel dan membersihkan kaca dan lainnya.  Peno si Penjaga Malam Bank ITU mendongkol:“Anak muda yang malas!”  Terlihat kumisnya mekar seperti sulak yang biasa ia pegang.

“Bukan sekali ini saja dia begitu.  Nggak disiplin.  Seenaknya sendiri.  Pernah nggak masuk kerja, nggak kasih tahu!”

Intinya, bagi Peno si penjaga malam,  si anak muda ini tidak menarik. Ya, Tolo atau lengkapnya Kartolo sudah mendapat stempel: Tidak Menarik.

Pada kemudian waktu, ketika seluruh OB dan Penjaga Malam dari berbagai kantor anak cabang  berkumpul di aula kantor cabang (tentunya di kota), Peno menanyakan tentang sistem pembagian kerja.  Bagaimana jika OB tidak masuk kerja, dan penjaga malam yang menggantikan;  apakah penjaga malam  akan mendapat uang tambahan?  Cerita Peno kepadaku dengan nada gemas.  Di aula kantor cabang Bank ITU, lanjut Peno,  orang bank yang memberi pengarahan menjawab: “Tidak ada uang tambahan.  Mintalah pada OB yang bersangkutan untuk memotong gajinya.  Harus ada pengertian.”

Karena merasa disinggung dihadapan orang banyak, pada kemudian hari si OB Tolo mulai rajin.  Aku melihat setiap pagi, sebelum jam 07.00 ia sudah datang dengan motor Hondanya. Tak lama berselang, ia  menyapu, mengepel dan membersihkan kaca. Juga membuang sampah ke tepian kali  yang tak jauh. Sedangkan si pejaga malam duduk manis merokok di kursi tunggu teras, sambil sesekali satu kakinya di angkat, disilangkan di atas paha kaki sebelah.  Ia memainkan smartphone-nya. 

Suatu malam, selepas jam 10.00, aku mendengar lagu TipeX.  Lagu ini, amat kusuka.  Kaset dalam bentuk pita, masih tersimpan.  Suara itu kencang hingga mengganggu seisi rumahku, yang tengah tidur, juga aku yang masih menonton teve.  Aku keluar rumah.  Kudapati sebuah mobil Suzuki Katana warna hitam terparkir.  Kaca pintu mobil terbuka penuh, dan terdengarlah dari dalam: “Percayalah padaku meski di gelap malam kamu nggak sendirian / dan semua bintang yang kutinggalkan temanimu sampai akhir malam…”*)

Ketika mendekat, aku langsung menegurnya:”Tolo…!  Ini waktunya orang istirahat. Waktunya tidur.  Tahu?”

“Kenapa, Pak?”

“Lo, malah tanya!  Tip mobilmu! Ngganggu!”

“Oh..”

Ia membuka pintu mobil. Volume tape dilirihkan.  “Matikan saja sekalian!” suruhku.  Ia pun manut.

“Sendirian sepi.  Tidak enak.’’  Agaknya  ia membela diri. 

Mengapa OB itu menginap di kantor?  Ternyata ada aturan baru dari Bank ITU bahwa, sekali waktu antara Penjaga Malam, OB dan security bergantian berjaga tiap malam minggu.  Peno, menjelaskan hal itu pada suatu hari.

Karena beberapa kali melihat ada Suzuki Katana terparkir pada malam minggu hingga pagi harinya, aku bertanya pada Peno: mobil siapa itu?  Lelaki ini menjawab sinis: nDoro Obe!  Aku geli melihat kesinisan penjaga malam ini.  Sesungguhnya, aku pun heran, sekelas OB berangkat kerja membawa mobil.  Anak orang berpunya?  Tapi masak iya mau jadi OB.

Semenjak ada jadwal giliran jaga malam pada malam minggu,  beberapa kawannya datang   begadang di halaman parkir.  Aku sebel.  Suara candaan mereka  bisa menembus dinding rumahku.  Untuk memberi pelajaran, setelah mereka mengantuk dan masuk ruangan, pada tengah malam aku taruh paku di depan satu roda belakang.   Aku balas dendam!  Aku geregetan!

Suatu siang, seingatku hari selasa,  aku memasuki bank itu untuk sebuah transaksi.  Tanpa disangka, aku bertemu temanku yang pejabat kantor cabang Bank ITU.  Tak lebih dari lima menit kami berbincang sembari berdiri di ruang tempat nasabah menanti panggilan.

“Bapak kenal baik dengan Beliau?” Tanya OB Tolo kepadaku  setelah aku berbalik dari kasir dan bersamaan dengannya hendak melewai pintu utama.

“Dia teman.  Teman lama.  Teman sewaktu sekolah.”

Temanku yang pejabat Bank ITU adalah Agung.   Dan, semenjak pertemuanku dengan Agung, OB Tolo terlihat lebih hormat padaku.  Jika melihat aku melewati depan bank dan ia melihat, ia menyapa dan senyum.

Sekali waktu aku ngobrol di luar bersamanya, di dekat  minimarket,  pada suatu petang setelah jam kantor tutup.  Ia menawarkan rokok.  Dan aku senang akan hal ini.  Dan, selalu begitu aku perhatikan. Tiap ngobrol bareng, ia tak lupa menawarkan rokok beserta koreknya.  Aku baru merasakan sekarang, punya teman pejabat memang memberi pengaruh. Setidaknya menguntungkan walaupun tak seberapa.

Repotnya, setelah akrab, aku dikejutkan dengan undangan yang ada di meja ruang keluarga. 

“Itu undangan nikah dari …..” kata ibuku sambil menunjuk kantor bank.  Aku lihat sampul depan: Menikah:  Tolo dan Rossi.

Aku jadi ingat, dulu dia pernah bertanya: Apa modal buat nikah?  Aku menjawab: cukup Bismillah saja!

Sebenarnya, jawaban itu sekenanya. Mungkinkah karena jawabanku itu, kemudian ia nekad melamar, kemudian berlanjut ke pernikahan? Aku tersenyum.  Tapi kemudian senyum itu memudar.  Aku ingat, masih ada tiga undangan pernikahan yang harus didatangi.  Ketiganya dari kerabat di kota yang jauh-jauh, tapi masih dalam satu provinsi.  Berarti akan  menambah pengeluaran rumah tangga dalam waktu dekat ini.

Akhirnya, pada hari yang tertera pada surat undangan , aku mendatangi hajatan itu.  Aku menjadi heran, temanku Agung, yang pejabat kantor cabang menghadiri perhelatan itu juga. 

“Dia Saudaramu?” tanyaku padanya.

“Bukan.”

“Anak temanmu?”

“Bukan.”

“Terus?”

“Aku ndak tahu.  Tahu-tahu dikasih undangan dari orang kantor.”

Beberapa hari setelah pernikahan itu, Tolo terlihat kembali masuk kerja.  

Suatu hari, saat memasuki senja, aku bertemu dia di tempat biasa kami bersantai yaitu teras depan minimarket.  Seperti biasa pula OB Tolo menawarkan rokok sekalian korek gas.  “Ayo, Pak.”  Kami berdua selanjutnya beradu asap di awang-awang.

“Kamu berani juga menikah?” Aku memulai bercakapan.  Ia tersenyum.

“Nekad.  Katanya cuma modal Bismillah.”   

Kami saling tertawa. 

“Mertuamu pernah tanya: kamu kerja di mana?” Aku tanya lagi.

Ia bercerita, betapa mertua lelaki dan perempuannya bangga padanya yang pegawai bank.  Bagi mereka, kata Tolo, punya menantu bekerja di bank seperti sebuah impian yang jadi kenyataan.  Mereka yakin, kerja di bank kerja yang menjanjikan.  Anggapnya, anaknya tidak akan sengsara hidupnya.  Ada kepastian bulanan.  Tidak seperti menantu lain yang mengais uang dengan serabutan: kuli bangunan, jaga malam, dan entah apa lagi, yang penting bisa mendatangkan duit.

Aku terdiam untuk pertanyaan berikutnya.  Aku menjentikan ujung rokok.

“Apa kamu sering bawa mobil tiap  ngapeli  pacarmu?”

Tolo tersenyum.  Mukanya ditekuk memandang sepatu.  Dugaanku, ia begitu.  Hanya Tolo tak menjawab. “Itu artinya kamu sudah layak terlihat sebagai pegawai bank.”  Ia lantas cengar-cengir.  Dugaanku juga, si orang tua tidak bertanya: mobil siapa itu?  Rupanya dia beruntung.

Ketika petang mulai merambat malam aku berpikir untuk pulang.  Lantas, aku ingin menuntaskan pertemuan kali ini.

“Ngomong-ngomong, kamu sudah malam pertama?” Ia tersipu dengan pertanyaanku ini.

“Belum.”

“Belum?”

“Kenapa?” desakku. 

Seketika bola mata Rasyid bergerak ke sudut kiri atas.  Menyiapkan jawaban.

“Istriku takut.”

Aku sedikit terpingkal mendengarnya.

“Takut.  Takut kenapa?”

“Pokoknya takut.  Katanya, dia trauma kalau melihat kepala ular.”

Akhirnya aku menyarankan, agar mereka bermain dalam kegelapan agar bayangan kepala ular memudar kemudian berubah wujud menjadi bola lampu bercahaya keemasan. 

Dan dia terkekeh-kekeh….

1 Mei 2017, Selamat menikmati libur Hari Buruh untuk Kartolo dan seperjuangannya.

*) Penggalan syair lagu Kamu Nggak Sendirian, Album TipeX.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun