“Kamu berani juga menikah?” Aku memulai bercakapan. Ia tersenyum.
“Nekad. Katanya cuma modal Bismillah.”
Kami saling tertawa.
“Mertuamu pernah tanya: kamu kerja di mana?” Aku tanya lagi.
Ia bercerita, betapa mertua lelaki dan perempuannya bangga padanya yang pegawai bank. Bagi mereka, kata Tolo, punya menantu bekerja di bank seperti sebuah impian yang jadi kenyataan. Mereka yakin, kerja di bank kerja yang menjanjikan. Anggapnya, anaknya tidak akan sengsara hidupnya. Ada kepastian bulanan. Tidak seperti menantu lain yang mengais uang dengan serabutan: kuli bangunan, jaga malam, dan entah apa lagi, yang penting bisa mendatangkan duit.
Aku terdiam untuk pertanyaan berikutnya. Aku menjentikan ujung rokok.
“Apa kamu sering bawa mobil tiap ngapeli pacarmu?”
Tolo tersenyum. Mukanya ditekuk memandang sepatu. Dugaanku, ia begitu. Hanya Tolo tak menjawab. “Itu artinya kamu sudah layak terlihat sebagai pegawai bank.” Ia lantas cengar-cengir. Dugaanku juga, si orang tua tidak bertanya: mobil siapa itu? Rupanya dia beruntung.
Ketika petang mulai merambat malam aku berpikir untuk pulang. Lantas, aku ingin menuntaskan pertemuan kali ini.
“Ngomong-ngomong, kamu sudah malam pertama?” Ia tersipu dengan pertanyaanku ini.
“Belum.”