Aku jadi ingat, dulu dia pernah bertanya: Apa modal buat nikah? Aku menjawab: cukup Bismillah saja!
Sebenarnya, jawaban itu sekenanya. Mungkinkah karena jawabanku itu, kemudian ia nekad melamar, kemudian berlanjut ke pernikahan? Aku tersenyum. Tapi kemudian senyum itu memudar. Aku ingat, masih ada tiga undangan pernikahan yang harus didatangi. Ketiganya dari kerabat di kota yang jauh-jauh, tapi masih dalam satu provinsi. Berarti akan menambah pengeluaran rumah tangga dalam waktu dekat ini.
Akhirnya, pada hari yang tertera pada surat undangan , aku mendatangi hajatan itu. Aku menjadi heran, temanku Agung, yang pejabat kantor cabang menghadiri perhelatan itu juga.
“Dia Saudaramu?” tanyaku padanya.
“Bukan.”
“Anak temanmu?”
“Bukan.”
“Terus?”
“Aku ndak tahu. Tahu-tahu dikasih undangan dari orang kantor.”
Beberapa hari setelah pernikahan itu, Tolo terlihat kembali masuk kerja.
Suatu hari, saat memasuki senja, aku bertemu dia di tempat biasa kami bersantai yaitu teras depan minimarket. Seperti biasa pula OB Tolo menawarkan rokok sekalian korek gas. “Ayo, Pak.” Kami berdua selanjutnya beradu asap di awang-awang.