“Sontoloyo. Tutup mulutmu, kunyuk!” Agaknya ia sudah lepas kendali, hingga kata kunyuk keluar dari mulutnya.
“Iya, saya kunyuk, Pak.”
Kamsir terpana dengan perempuan yang ada di samping Pak Supenis. Mmm, cantik, gumamnya sambil mengalihkan pandangan ke arah jalan raya, seakan tak peduli dengan bidadari malam itu. Mobil pun meninggalkan pintu gerbang. Meninggalkan asap yang terasa menyengat dan memporandakan bulu hidungnya yang beberapa helai sudah memutih dan jarang dipotong.
Ia mengintai pantat mobil, hingga hilang di tikungan jalan. Suasan lengang. Suara Guplo teredam oleh kepergian majikannya.
***
Seseorang datang menemui Pak Supenis di rumah itu. Agaknya sudah ada janji antara mereka. Atau mungkin sudah kenal lama? Begitu dalam benak Kamsir melihat kedatangan lelaki yang menurut tafsirnya baru berusia tiga puluhan.
Bertiga mereka mendatangi kandang Guplo. Karena disebut: Plo…! Maka helder itu terdiam. Dengan cepat tamu itu menembakkan sesuatu dari arah belakang dan menancap pada pantat anjing helder. Guplo mengguguk, berlanjut tak sadarkan diri. “Biusnya sudah bereaksi,” ucap sang tamu sambil menatap Pak Supenis.
Sang tuan rumah memegang pisau yang ia dapatkan dari tamunya. Ia pegang telinga kiri heldernya. Menjembrengnya. Dengan wajah kesal itu memotong daun teling itu hingga putus. Darah bercucuran. Sang tamu, sepertinya sudah siap dengan yang akan terjadi, dengan bekal dan peralatan dalam tasnya, mengatasi keadaan.
“Kau rasakan sekarang, Guplo,” ucap Pak Supenis geram. “Kemarin hari saya kasih kamu jatah makan lebih. Tapi kamu tidak patuh!
Kamsir dan lelaki tamu Pak Supenis memperhatikan Sang pemilik helder. Guratan pada wajahnya menyiratkan rasa dikhianati. “Sudah saya katakan ke kamu waktu itu. Kamu tenang... Jangan gelisah.... Jangan gaduh. Yang akan datang malam itu temanku!”
Pak Supenis menemas-remas daun telinga si Guplo yang telah terpotong. Jemari tangan kanannya mencengkeram erat. “Saya penuhi janjiku. Jika kamu mengganggu: kupotong telingamu!”