Mohon tunggu...
Sarwo Prasojo
Sarwo Prasojo Mohon Tunggu... Angin-anginan -

Suka motret, tulas-tulis dan ini itu. Dan yang pasti suka Raisa

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Saryun, Jinem dan Seekor Tokek

4 April 2017   21:41 Diperbarui: 5 April 2017   07:00 5231
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber: ruangprediksi.com

Jinem menarik nafas.  “Suara dari masjid, Saryun?”  

Dan lelaki itu malah tersenyum sadar dengan ketidaknyambungannya.  “Kalau kamu beli buntut togel, kamu bisa ditangkap!” ujar Jinem.   “Sekali-kalilah, aku ingin lihat kamu ke masjid Jumatan. Biar punya ilmu.  Jangan cuma waktu ada sembelihan hewan kurban!”

Saryun merasa dipojokkan.  “Bukankah daging itu juga buat kamu.  Buat makan enak kita sekali setahun?”  Lelaki itu lantas berdiri, melangkah bergegas keluar rumah.  Ia urung makan, dan mencari orang yang sama-sama belum terpanggil berjumatan.

Malam-malam berikutnya setelah hari jumat itu menjadi malam yang menggelisahkan Saryun.  Ia tak lagi mendengar  nada-nada indah tokek rumahnya.  Suasana sepi.   Tapi ada yang berkecamuk pada dada Saryun, ia seperti tengah kehilangan harapan.  Harapan pada suara tokek yang bersahabat itu.

Saryun sudah mengelilingi rumah.  Di atap rumah, di kolong tempat tidur, belakang meja dan entah tempat mana lagi, ia sudah menelisik mengendus keberadaan tokek.  Hasilnya nihil.  Sementara ia berusaha untuk tenang dan tidak melibatkan Jinem.  Tapi pertahananya jebol!

“Kamu kemanakan tokek itu, Jinem?” tanya Saryun.

Dengan tongkat penyangga tubuhnya, perempuan itu menunjuk usuk bambu rumahnya.  “Kemarin di sana!” perempuan itu pun menjawab cepat.  Tatapan Saryun mengikuti arah tongkat istrinya.  “Kemarin!  Sekarang di mana?” lelaki itu gusar, seperti tengah dipermainkan istrinya.

“Kamu seperti kehilangan jimat saja, suamiku!” Jinem bersuara sambil tersenyum.  Dan lelaki yang ada di hadapannya seperti sudah menguatkan dugaan, hilangnya tokek itu bukan karena pergi.  Tapi karena istrinya. “Aku menyuruh Jumino menangkapnya.”

Saryun membatin: kurang ajar! Agaknya ia enggan melontarkan ujaran itu.

 “Itu artinya kita tak ada harapan untuk berobat.  Mengobati kulitmu, Jinem!” Saryun benar-benar kesal, itikad baiknya tidak bersambut.

Jinem tertawa lepas mendengar pembelaan suaminya.  “Ya, itu menurutmu.  Bagiku kini malah sangat punya harapan.”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun