Mohon tunggu...
Sarwo Prasojo
Sarwo Prasojo Mohon Tunggu... Angin-anginan -

Suka motret, tulas-tulis dan ini itu. Dan yang pasti suka Raisa

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

[Cerpen] Lebaran di Tengah Oktober

4 Juli 2016   11:24 Diperbarui: 4 Juli 2016   18:13 475
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku bisa mengerti kenapa bapak terisak saat bicara. Dan baru kali ini aku mendengar ia begitu. Isak yang dalam. 

Dari kejauhan, lewat telepon genggam milik adik bungsuku, Bapak bertanya, ”Bagaimana kamu di situ? Bagaimana makannya?” Dan seterusnya bertanya seperti kepada anak kecil saja. Padahal usiaku mendekati kepala tiga. Ah, masih belum juga dianggap dewasa, rupanya. Maka, ketika Lebaran itu aku dan adikku tidak bisa berkumpul, Bapak berbayang buruk. Khawatir. Seperti lupa bahwa anaknya adalah perantau yang mestinya perasaan seperti ini sudah menipis.

Aku jadi ingat sewaktu anak-anak. Saat sandekala tiba; waktu jelang maghrib itu, jika anak-anaknya belum kumpul, Bapak mencari. Bertanya ke siapa saja yang barangkali tahu. Hingga menemukan dan mengajak pulang. Pulang dan berkumpul dalam rumah pada sore hari adalah sebuah kedamaian baginya. Bagi orang tua. 

Lantas, hingga sampai hari lebaran itu tiba, dua anaknya tidak juga mewarnai suasana Idul Fitri dan hanya bersama dua anak terakhirnya di rumah, Bapak didera rasa: ada yang hilang.

Kakak tertuaku tak bisa pulang kampung. Itu biasa. Ia tak pernah memaksakan diri untuk mudik semenjak menikah dan punya anak. Sudah berkali tahun begitu. Tidak ada alasan yang jelas, selalu saja cuma berkata: aku tak bisa pulang. Duga Bapakku, ia tak cukup uang untuk pulang satu keluarga. Namun lebaran kali ini, aku dan adikku di luar dugaan terpaksa sama dengannya, dengan kakak tertuaku. Kami tidak bisa menginjak lantai rumah hingga paruh terakhir puasa ramadhan.

Aku kecelakaan dalam perjalanan mudik.

lakonhidup.wordpress.com
lakonhidup.wordpress.com
Mendekati subuh, saat melintasi jalur Pantura Subang, sebuah motor kencang berusaha mendului. Ia mengambil jarak yang mepet ke sisi kananku, hingga barang bawaannya menyentuh stang kemudi. Aku hilang kendali. Dan tersungkur tak jauh dari motor yang tergeletak di atas aspal. Adikku yang membonceng terpental ke kiri jalan. Lantas, ia tak mampu menegakkan badan. Rupanya tulang kakinya patah. Si Pengendara itu beruntung, bisa mengendalikan diri dan tetap melaju tanpa peduli yang terjadi.

Apes! Tidak ada yang pilihan yang bisa diperbuat pada puncak lebaran waktu itu. Ambulan mengantar kami menuju ahli patah tulang. “Biasanya ke sana. Rumah sakit adanya di kota. Jauh. Sulit menembus kemacetan,” ucap petugas.

Aku menahan pegal. Adikku mengaduh tak henti. Sesekali mengerang. Jaketku robek. Juga milik adikku. Kami berdua ada luka yang harus segera diobati. Dan aku titipkan motor pada polisi untuk dibawa ke Polres. Kami memasuki ambulan yang datang tiga puluh lebih menit pasca kejadian itu. Segera, mobil putih itu bergerak menuju yang dimaui petugas. Suara sirine dan lampu merah yang berputar-putar, tetap tak mampu menembus dengan cepat kepadatan lalu lintas ke arah timur.

“Ya makan nasi, Pak. Ada lauk daging dan sayur,” jawabku pada Bapak.

“Nasi… dari mana? Apa ada warung yang jualan?”

“Tak tahu. Ini dari keluarga Pak Haji si tukang tulang itu yang memberi.”

“O. Terus... kira-kira, kapan bisa pulang?”

Aku berpikir sejenak. “Belum tahu?”

“Terus, bagaimana nantinya?”

Aku terdiam karena tak juga punya jawaban. Belum pernah aku tanyakan itu pada Pak Haji. Beberapa pasien patah tulang ada yang sudah dua minggu, bahkan hampir satu bulan. Aku berpikir: akankah selama itu nantinya? Aku berharap tidak begitu.

“Tenang saja, Pak. Secepatnya pulang!” aku menenangkannya.

Aku dan adikku bisa menyaksikan, betapa mudik bermotor seperti ajang taruhan raga juga nyawa. Benar kata Pak Haji, nanti akan datang lagi lainnya. Maksudnya; yang kecelakaan. Lebih dari tiga orang pada waktu berikutnya, datang berambulan. Sebagaimana adikku, mereka ditandu memasuki bale pengobatan Pak Haji.

Pagi dan sore, adikku diurut. Satu yang ditambahkan adalah sebotol minuman dalam kemasan yang telah diberi doa. Dan pasien meminumnya. Begitulah proses pengobatannya. Aku pun menjalani hal yang sama. Karena ngilu; sakit di tubuh tak terperi.

Seumur hidupku, baru kali ini lebaran tak di rumah. Berada di tempat yang masih ratusan kilo untuk bisa sampai menemui kedua orang tua. Bertemu sanak saudara. Kampungku, yang nyaris satu tahun itu baru dua kali aku tengok, lepas dari pandangan.

Rasanya janggal, menemui hari raya dikelilingi oleh orang-orang yang baru aku dan adikku kenal. Mereka terlihat merasakan kesamaan seperti yang kami rasakan. Hati yang sepi. Mereka yang kehilangan hari indah untuk mengikat silaturahmi. Aku bisa mengerti, jika di antara kami yang ada di sana, di pondokan Pak Haji itu, tak banyak yang bicara. Hanya tatapan mata menembus lubang kusen jendela. Seperti tengah berharap sanak saudara datang menengok. Kemudian membawa kami pulang ke rumah. Dan itu benar-benar cuma harapan.

Aku akhirnya memilih mudik dengan berkendara roda dua. Jika bukan karena kemacetan yang berulang-ulang setiap naik bus, maka pilihan ini tidak aku ambil. Tetapi kecelakaan itu membuatku mengerti, mengapa Bapak teramat sedih. “Naik motor itu berisiko. Risikonya besar. Apalagi motormu motor bebek!” nasihat Bapak pada lebaran terdahulu.

“Bapak belum pernah merasakan tujuh jam… bus berhenti di Cikampek. Satu meter tak juga dapat bergerak!” aku memberi pegertian, saat mencoba meminta izin untuk mudik bermotor.

“Lho, kalau itu Bapak mengerti. Di berita tivi kan begitu. Macet total kalau mau keluar Simpang Jomin. Itu barang biasa, kan?”

Aku ogah-ogahan berdebat dengan Bapak. “Keselamatan itu mesti paling kamu perhitungkan!” tegasnya.

Dan, aku abaikan nasihat Bapakku. Untuk kali ini aku tak memberitahunya, bahwa aku berangkat mudik bermotor. Berboncengan.

Pagi dini hari kami bersiap. Keluar dari kontrakan di Rawa Bebek Bekasi, melintas menuju jalan Kalimalang. Menyusuri Cikarang dan menemui jalur mudik di Karawang hingga roda motor menciumi aspal sepanjang pantura Subang. Sampai akhirnya kecelakaan itu menimpa kami.

***

“Sengaja, Bapak tetap menyimpan termos itu. Supaya kamu teringat kejadian sembilan tahun lalu,” ujar Bapakku.

Aku tengah membuka lemari di dapur. Beberapa perabot berjejer rapat di dalamnya. Sebuah termos air panas aku ambil. Warnanya merah hati yang kusam termakan waktu. Dulu aku sempat menulis dengan spidol permanen bertinta hitam: Okt 2007. Sekedar untuk ingatan. Ya, di Bulan Oktober itu adalah penghujung puasa dan memasuki satu syawal. Sedang hujan tengah menderasi tanah air. Tapi aku dan adikku serasa memasuki musim kemarau.

Aku membeli termos itu untuk menyimpan air kebutuhan kami saat di penyembuhan patah tulang itu. Aku menatap benda itu. Mengenang saat membelinya pada sebuah toko, yang pemiliknya menyapaku dengan bahasa Sunda. “Meuli naon, Aa?” Tapi aku membalas dengan berkata, ”Saya orang Jawa.” Dan lelaki paruh baya itu mengganti pertanyaan dengan Bahasa Indonesia.

“Jika bukan karena kejadian lebaran 2007 itu, termos ini sudah Bapak buang. Toh sudah tak pernah dipakai lagi. Cepat dingin buat nyimpan air,” ucap Bapak sembari menatap benda yang tengah aku pegang.

“Kenapa. Buang sajalah….”

Bapak menatapku. “Setiap melihat termos itu, Bapak selalu teringat lebaran yang dulu itu. Bersamaan, kamu dan adikmu tak pulang. Juga kakakmu.”

Aku mencoba mengingat peristiwa itu lagi. Selintas. Selintas saja.

“Kau harus tahu. Bapak seperti bernafas dengan satu paru waktu itu. Bapak iri dengan kiri kanan yang rumahnya riuh. Semua kumpul. Sedang rumah ini….. rasanya kerontang. Tiga anak tak ada.”

Kutatap termos yang ada di tanganku. Kemudian menepuknya pelan tanpa arti. “Kau akan mengerti kelak, saat usiamu menua. Datangnya anak dan cucu pada hari raya seperti ini adalah barang mewah.”

Aku hanya mengangguk. Tapi aku tidak mencoba untuk merasakan bernafas dengan satu paru. Dengan dua paru sekarang ini, Bapakku yang merangkak senja itu sering terlihat sesak. 

Bumi Cahyana, 4 Juli 2016

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun