Mohon tunggu...
Sarwo Prasojo
Sarwo Prasojo Mohon Tunggu... Angin-anginan -

Suka motret, tulas-tulis dan ini itu. Dan yang pasti suka Raisa

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

[Cerpen] Lebaran di Tengah Oktober

4 Juli 2016   11:24 Diperbarui: 4 Juli 2016   18:13 475
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Tak tahu. Ini dari keluarga Pak Haji si tukang tulang itu yang memberi.”

“O. Terus... kira-kira, kapan bisa pulang?”

Aku berpikir sejenak. “Belum tahu?”

“Terus, bagaimana nantinya?”

Aku terdiam karena tak juga punya jawaban. Belum pernah aku tanyakan itu pada Pak Haji. Beberapa pasien patah tulang ada yang sudah dua minggu, bahkan hampir satu bulan. Aku berpikir: akankah selama itu nantinya? Aku berharap tidak begitu.

“Tenang saja, Pak. Secepatnya pulang!” aku menenangkannya.

Aku dan adikku bisa menyaksikan, betapa mudik bermotor seperti ajang taruhan raga juga nyawa. Benar kata Pak Haji, nanti akan datang lagi lainnya. Maksudnya; yang kecelakaan. Lebih dari tiga orang pada waktu berikutnya, datang berambulan. Sebagaimana adikku, mereka ditandu memasuki bale pengobatan Pak Haji.

Pagi dan sore, adikku diurut. Satu yang ditambahkan adalah sebotol minuman dalam kemasan yang telah diberi doa. Dan pasien meminumnya. Begitulah proses pengobatannya. Aku pun menjalani hal yang sama. Karena ngilu; sakit di tubuh tak terperi.

Seumur hidupku, baru kali ini lebaran tak di rumah. Berada di tempat yang masih ratusan kilo untuk bisa sampai menemui kedua orang tua. Bertemu sanak saudara. Kampungku, yang nyaris satu tahun itu baru dua kali aku tengok, lepas dari pandangan.

Rasanya janggal, menemui hari raya dikelilingi oleh orang-orang yang baru aku dan adikku kenal. Mereka terlihat merasakan kesamaan seperti yang kami rasakan. Hati yang sepi. Mereka yang kehilangan hari indah untuk mengikat silaturahmi. Aku bisa mengerti, jika di antara kami yang ada di sana, di pondokan Pak Haji itu, tak banyak yang bicara. Hanya tatapan mata menembus lubang kusen jendela. Seperti tengah berharap sanak saudara datang menengok. Kemudian membawa kami pulang ke rumah. Dan itu benar-benar cuma harapan.

Aku akhirnya memilih mudik dengan berkendara roda dua. Jika bukan karena kemacetan yang berulang-ulang setiap naik bus, maka pilihan ini tidak aku ambil. Tetapi kecelakaan itu membuatku mengerti, mengapa Bapak teramat sedih. “Naik motor itu berisiko. Risikonya besar. Apalagi motormu motor bebek!” nasihat Bapak pada lebaran terdahulu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun