Bapak menatapku. “Setiap melihat termos itu, Bapak selalu teringat lebaran yang dulu itu. Bersamaan, kamu dan adikmu tak pulang. Juga kakakmu.”
Aku mencoba mengingat peristiwa itu lagi. Selintas. Selintas saja.
“Kau harus tahu. Bapak seperti bernafas dengan satu paru waktu itu. Bapak iri dengan kiri kanan yang rumahnya riuh. Semua kumpul. Sedang rumah ini….. rasanya kerontang. Tiga anak tak ada.”
Kutatap termos yang ada di tanganku. Kemudian menepuknya pelan tanpa arti. “Kau akan mengerti kelak, saat usiamu menua. Datangnya anak dan cucu pada hari raya seperti ini adalah barang mewah.”
Aku hanya mengangguk. Tapi aku tidak mencoba untuk merasakan bernafas dengan satu paru. Dengan dua paru sekarang ini, Bapakku yang merangkak senja itu sering terlihat sesak.
Bumi Cahyana, 4 Juli 2016
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H