“Bapak belum pernah merasakan tujuh jam… bus berhenti di Cikampek. Satu meter tak juga dapat bergerak!” aku memberi pegertian, saat mencoba meminta izin untuk mudik bermotor.
“Lho, kalau itu Bapak mengerti. Di berita tivi kan begitu. Macet total kalau mau keluar Simpang Jomin. Itu barang biasa, kan?”
Aku ogah-ogahan berdebat dengan Bapak. “Keselamatan itu mesti paling kamu perhitungkan!” tegasnya.
Dan, aku abaikan nasihat Bapakku. Untuk kali ini aku tak memberitahunya, bahwa aku berangkat mudik bermotor. Berboncengan.
Pagi dini hari kami bersiap. Keluar dari kontrakan di Rawa Bebek Bekasi, melintas menuju jalan Kalimalang. Menyusuri Cikarang dan menemui jalur mudik di Karawang hingga roda motor menciumi aspal sepanjang pantura Subang. Sampai akhirnya kecelakaan itu menimpa kami.
***
“Sengaja, Bapak tetap menyimpan termos itu. Supaya kamu teringat kejadian sembilan tahun lalu,” ujar Bapakku.
Aku tengah membuka lemari di dapur. Beberapa perabot berjejer rapat di dalamnya. Sebuah termos air panas aku ambil. Warnanya merah hati yang kusam termakan waktu. Dulu aku sempat menulis dengan spidol permanen bertinta hitam: Okt 2007. Sekedar untuk ingatan. Ya, di Bulan Oktober itu adalah penghujung puasa dan memasuki satu syawal. Sedang hujan tengah menderasi tanah air. Tapi aku dan adikku serasa memasuki musim kemarau.
Aku membeli termos itu untuk menyimpan air kebutuhan kami saat di penyembuhan patah tulang itu. Aku menatap benda itu. Mengenang saat membelinya pada sebuah toko, yang pemiliknya menyapaku dengan bahasa Sunda. “Meuli naon, Aa?” Tapi aku membalas dengan berkata, ”Saya orang Jawa.” Dan lelaki paruh baya itu mengganti pertanyaan dengan Bahasa Indonesia.
“Jika bukan karena kejadian lebaran 2007 itu, termos ini sudah Bapak buang. Toh sudah tak pernah dipakai lagi. Cepat dingin buat nyimpan air,” ucap Bapak sembari menatap benda yang tengah aku pegang.
“Kenapa. Buang sajalah….”