Mohon tunggu...
Sarwo Prasojo
Sarwo Prasojo Mohon Tunggu... Angin-anginan -

Suka motret, tulas-tulis dan ini itu. Dan yang pasti suka Raisa

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Bulan Sensitif

21 April 2016   07:27 Diperbarui: 30 April 2016   18:45 325
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="lentera-pembebasan.blospot.co.id"][/caption]

Saya katakan  untuk kesekian kali, bahwa menjadi Ketua RT adalah jabatan yang paling repot di negeri ini.  Melebihi presiden, pokoknya.  Jadi,  jangan sekali-sekali membandingkannya dengan jabatan gubernur, bupati, juga walikota.  Itu tak perlu.

Dan pada bulan April ini, saya dihadapkan pada satu kejadian yang baru kali ini singgah di "rumah jabatan". Anggap saja begitu, karena lebih dari sepuluh tahun, rumah saya terkenal sebagai Rumah Ketua RT. 

Ada dua keluarga muda yang baru beberapa hari punya bayi mungil.  Mereka bertengkar.  Persoalannya adalah  mengenai nama anaknya. Mereka sama-sama menamai  bayi perempuannya adalah Kartini.

“Anak saya lebih dulu lahir, Pak RT. Lebih cepat satu jam.  Jadi saya punya hak untuk lebih dulu menamai Kartini,” Kata Hendra.

“Tapi, Pak RT.  Jauh hari, setelah USG, kata dokter kandungan, anak  saya akan lahir pertengahan April.  Dan istri saya menyiapkan nama Kartini untuk bayi kami.  Setelah bayi lahir, saya dan istri sepakat untuk secepatnya syukuran.  Terus kirim bubur merah putih,” ungkap Ramadan.

Agaknya mereka sama-sama enggan menerima kenyataan.  Tidak mau satu dan lainnya punya anak bernama Kartini.  Entah bagaimana mulanya, istri mereka saling mencibir di tepi jalan saat mereka berpapasan.  Saya tidak mau menceritakan isi cibiran mereka.  Saya lebih senang fokus pada misi sebagai Ketua RT.

Saya bertanya pada kedua lelaki ini, yang kemarin hari saya kasih saran untuk berdamai mewakili istrinya di rumah saya: “Apa ruginya bagi kalian punya anak bernama sama?”

Ramadan lebih dulu menjawab.  “Sangat tidak enak, Pak RT.  Masak sih… satu RT dan bertetangga dekat pula,  punya nama anak kok sama.  Ujung-ujungnya nama orang tuanya dibawa-bawa.  Misalnya begini, Pak RT. Karena ada lebih satu Kartini lantas orang bertanya: Kartini.... Kartini siapa?  Terus orang menjawab: itu lo, Kartini Ramadan.”

“Kalau saya lain, Pak RT!” kata Hendra.  “Saya dan istri tidak mau anak kami disamakan, nanti orang-orang membandingkan Kartini kami dengan Kartini dia.  Saya ingin orang melihat sosok Kartini yang baik di tempat ini… ya, Kartini anak saya.  Bukan Kartini anak dia.”

Oalaaah….

Itu lo, hanya untuk urusan nama bayi saja, sebagai Ketua RT saya harus menjadi penengah.  Sebagai pemimpin dengan pengalaman lebih dari sepuluh tahun, hal semacam ini agak rawan.  Bisa menimbulkan ketidakharmonisan warga berkepanjangan.Emoh bertegur sapa satu sama lain.  Dan yang pasti,  akan menjadi bahan gunjingan orang. Pastilah, itu tidak sehat.

Saya punya kekhawatiran pula.  Jika hati mereka mengeras, akan mempengaruhi produksi ASI.  Kasihan bayinya.  Mereka semua merugi.

Karena saya  orang yang terlatih untuk waskita.  Tanggap situasi.  Maka saya sarankan mereka menyelesaikan secara baik di rumah saya.  Mumpung.  Mumpung istri saya sedang pergi jauh, menengok kerabatnya di kampung.

“Biarpun sama, kan bisa disiasati.  Ramadan, kamu bisa panggil anakmu: Karti.”

“Anakmu, Hendra.  Panggil saja dia Tini.  Mudah bukan?”

Mmm.  Mereka tampak  manyun!

Ramadan keberatan dengan sebutan Karti.  Katanya, "Karti" tidak enak ditelinga.  Bisa-bisa orang mengira anak dia namanya Kartinem.

Saya memberi saran padanya.  "Gampang saja.  Menulisnya agak dibarat-baratkan.  Jangan Karti.  Tapi Carty."

Setali tiga uang, Hendra pun keberatan dengan sebutan Tini, usul saya tadi.  Ujarnya, nama Tini sama dengan  nama ibunya.

Saya geleng-geleng kepala.  Ada saja alasannya.

“Ya sudah.  Saya sarankan, kalian mengganti nama anakmu.  Mumpung belum dibuatkan akta.  Tidak usah pakai Kartini-kartinian!”

Meraka melotot hampir bersamaan.  Baru kali ini ada warga melotot ke saya selaku Ketua RT.

“Pak RT.  Saya ingin mengharumkan nama Ibu kita Kartini.  Makanya saya pilih itu.  Kebetulan anak saya lahir pertengahan April.  Bagus kan?”

Saya terkesima dengan kalimat Ramadan tadi.  Lantas, Hendra menyusul bersuara. ”Bukan  cuma itu, Pak RT.  Saya ingin anak perempuan saya terinspirasi dengan kehidupan RA Kartini.  Tidak salah kan?”

Sompreeeeet….!! Aku mulai kesal dengan berdebatan ini.  

Jarum jam tampak berat beringsut ke angka Sembilan malam.  Mungkin ia pun kesal juga mendengar ucapan-ucapan mereka. Sementara saya sudah jengah.

“Jadi enaknya bagaimana menurut kalian!!!” tanya saya dengan nada tinggi.

“Saya tetap dengan nama Kartini, Pak RT.”

“Saya juga!”

Brak….. !!!  Entah kenapa telapak  tangan saya seketika  mendarat di atas meja.  Asbak terpental dan sedikit bergeser ke sisi kanan.  Kedua lelaki muda itu tersentak. 

“Keluar kalian!!”

Mereka terdiam.  Sepertinya takut dengan bentakan saya.  Sesuatu yang tidak diduga harus mereka dapati.  Keduanya berdiri dan tanpa permisi meninggalkan ruang tamu. Pulang terbirit-birit.

Segera, saya mematikan lampu ruang tamu setelah mengunci pintu terlebih dulu.  Saya berpindah duduk di ruang keluarga, pada sebuah sofa yang kainnya mulai kusam.

“Anak muda, anak muda.  Cara berpikirmu itu lo?  Mengagumi Ibu Kartini kok begitu.  Yang diributkan malah urusan nama,” sambil mengelus-elus kumis, saya membatin.

“Mau nama Iyem, Wiwi, Santi…. kan sama saja.”

Saya menyalakan televisi, mencoba menyimak berita terbaru malam itu.  Kemudian, HP saya berbunyi.  Agaknya, Istri saya yang menelepon.

“Pak, barusan ada yang SMS, katanya Pak RT marah-marah.   Ada dua tamu yang diusir keluar rumah.  Memangnya begitu, Pak?”

Saya kaget.  Begitu cepatnya sekarang ini.  Baru tadi kejadiannya.  Beritanya sudah sampai keluar kota.  Aduh! 

“Betul, Bu.  Tapi kan….”

“Sudah, Ibu tak perlu penjelasan.  Baru ditinggal istri beberapa hari saja, Bapak sudah begitu.  Sekarang sudah tahu kan … repotnya laki-laki kalau istri  lama tidak di rumah?”

Saya belum mengerti arah perkataan istri saya dari balik telepon. 

“Istri itu pelindung suami.  Peneduh suami.  Memberi rasa tenang.  Rasa nyaman.  Rasa senang.  Semua rasa yang enak!”

Apa maksudnya.  Kenapa malah berceramah.  Saya belum ngeh!

“Itu karena jasa Raden Ajeng Kartini, Pak!”

Oh, saya baru paham. Itu yang dia maksud.  Bulan April ternyata bulan yang sensitif  bagi kaum hawa.

"Iya, Bu.  Tentu..tentu....."

Saya tidak perlu menyanggah.  Membantah atau apapun, selain harus mengakui saja.  Dan itu pilihan terbaik sebagai suami: harus menjadi pendengar yang budiman terhadap suara istri.  Suara perempuan.

 

 

 

 

_________ Bumi Cahyana, 20 April 2016

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun