Segera, saya mematikan lampu ruang tamu setelah mengunci pintu terlebih dulu. Saya berpindah duduk di ruang keluarga, pada sebuah sofa yang kainnya mulai kusam.
“Anak muda, anak muda. Cara berpikirmu itu lo? Mengagumi Ibu Kartini kok begitu. Yang diributkan malah urusan nama,” sambil mengelus-elus kumis, saya membatin.
“Mau nama Iyem, Wiwi, Santi…. kan sama saja.”
Saya menyalakan televisi, mencoba menyimak berita terbaru malam itu. Kemudian, HP saya berbunyi. Agaknya, Istri saya yang menelepon.
“Pak, barusan ada yang SMS, katanya Pak RT marah-marah. Ada dua tamu yang diusir keluar rumah. Memangnya begitu, Pak?”
Saya kaget. Begitu cepatnya sekarang ini. Baru tadi kejadiannya. Beritanya sudah sampai keluar kota. Aduh!
“Betul, Bu. Tapi kan….”
“Sudah, Ibu tak perlu penjelasan. Baru ditinggal istri beberapa hari saja, Bapak sudah begitu. Sekarang sudah tahu kan … repotnya laki-laki kalau istri lama tidak di rumah?”
Saya belum mengerti arah perkataan istri saya dari balik telepon.
“Istri itu pelindung suami. Peneduh suami. Memberi rasa tenang. Rasa nyaman. Rasa senang. Semua rasa yang enak!”
Apa maksudnya. Kenapa malah berceramah. Saya belum ngeh!