Itu lo, hanya untuk urusan nama bayi saja, sebagai Ketua RT saya harus menjadi penengah. Sebagai pemimpin dengan pengalaman lebih dari sepuluh tahun, hal semacam ini agak rawan. Bisa menimbulkan ketidakharmonisan warga berkepanjangan.Emoh bertegur sapa satu sama lain. Dan yang pasti, akan menjadi bahan gunjingan orang. Pastilah, itu tidak sehat.
Saya punya kekhawatiran pula. Jika hati mereka mengeras, akan mempengaruhi produksi ASI. Kasihan bayinya. Mereka semua merugi.
Karena saya orang yang terlatih untuk waskita. Tanggap situasi. Maka saya sarankan mereka menyelesaikan secara baik di rumah saya. Mumpung. Mumpung istri saya sedang pergi jauh, menengok kerabatnya di kampung.
“Biarpun sama, kan bisa disiasati. Ramadan, kamu bisa panggil anakmu: Karti.”
“Anakmu, Hendra. Panggil saja dia Tini. Mudah bukan?”
Mmm. Mereka tampak manyun!
Ramadan keberatan dengan sebutan Karti. Katanya, "Karti" tidak enak ditelinga. Bisa-bisa orang mengira anak dia namanya Kartinem.
Saya memberi saran padanya. "Gampang saja. Menulisnya agak dibarat-baratkan. Jangan Karti. Tapi Carty."
Setali tiga uang, Hendra pun keberatan dengan sebutan Tini, usul saya tadi. Ujarnya, nama Tini sama dengan nama ibunya.
Saya geleng-geleng kepala. Ada saja alasannya.
“Ya sudah. Saya sarankan, kalian mengganti nama anakmu. Mumpung belum dibuatkan akta. Tidak usah pakai Kartini-kartinian!”