[caption caption="ilustrasi oleh Geugeut Pangestu Sukandawinata pada cerpen: Belis Si Mas Kawin"][/caption]Lelaki Pelupa
Istrinya terperanjat. Dia menemukan sebuah celana dalam laki-laki di kamar Yemyem, mantan pembantu rumah tangganya yang sudah tidak kerja di rumah itu seminggu yang lalu. Jika bukan karena Yemyem yang cantik, perempuan itu tidak akan menaruh curiga.
“Ini punyamu, kan?” tanya istrinya di depan pintu kamar pembantu.
Lelaki, suami dia itu terperanjat. Setidaknya agak terperanjat.
“Lihat dulu mereknya, dong! Crocodile apa bukan!” jawab sang lelaki mencari alibi.
Kemudian istrinya membaca label merek.
“Ini crocodile. Semua punyamu merek crocodile, kan?”
“Benar. Terus kenapa?”
“Kenapa bisa ada di sini?” tanya istrinya lagi.
“Mungkin aku lupa. Aku mengira itu kamar kita….”
“Terus?”
“Ah. Aku lupa selanjutnya.” Jawab lelaki itu sambil mengangkat bahu.
Perempuan itu mulai geram.
“Apa ada perempuan saat kamu masuk kamar ini?”
“Ada. Aku pikir itu kamu!”
Perempuan itu langsung berkacak pinggang.
“Aku curiga, kamu selingkuh!”
“Kamu jangan menuduhku sembarang!”
“Kalau begitu, jujur saja! apa yang kamu lakukan dengan Yemyem?”
Lelaki itu bergeming sejenak.
“ Aku lupa dengan apa yang terjadi di kamar itu. Karena aku ini kan pelupa!”
Penghuni Kubur
Dalam keranda, sesosok lelaki terbujur di bawa ke kuburan untuk dimakamkan. Enam orang memikulnya sepanjang jalan kampung sejauh lebih satu kilometer.
“Aduh, capek!”
“Pegel…!”
“Gantian dong…!”
Para pemanggul bersuara. Mengeluh.
Kemudian dari dalam keranda ikut bersuara pula. “Kelihatannya di depan sana ada penjual Es dawet. Kita berhenti dulu. Kalian minum-minum sajalah sejenak !”
Para pengiring tertinggal agak jauh. Agaknya para pemanggul jenazah bergerak amat cepat.
Di depan gerobak dorong, keenam orang itu leluasa minum segelas es dawet. Kini, mereka tampak segar kembali. Sesudahnya, keranda diangkat dan jenazah lelaki itu dibawa lagi bersama-sama.
Pada hari ketujuh setelah pemakaman, keluarganya mendatangi kuburan lelaki itu. Tiga orang adiknya menyiram air kembang. Lantas, berdoa di sisi gundukan tanah.
Kemudia mereka bersuara kepada penghuni kubur itu.
“Kemarin, penjual es dawet datang ke rumah. Dia minta uang. Katanya, kamu mentraktir orang-orang waktu membawamu ke sini. Tapi kamu belum membayar,” kata adik pertama.
“Ibu menangis mendengar itu. Ia merasa bersalah. Ia tidak sempat memberimu uang saat diberangkatkan ke kuburan,” ucap adik kedua.
“Tapi sudahlah. Sekarang kamu tenang saja di sini. Semua hutang-hutangmu sudah kami lunasi.”
____ Bumi Cahyana, 17 April 20016
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI