Mohon tunggu...
Sarwo Prasojo
Sarwo Prasojo Mohon Tunggu... Angin-anginan -

Suka motret, tulas-tulis dan ini itu. Dan yang pasti suka Raisa

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen: Layar Tancap

8 April 2016   10:40 Diperbarui: 9 April 2016   16:29 667
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Makin dekat, hawa panas itu terasa di kulit. Warna merah dan asap pekat membumbung. Hidungku sangit dibuatnya.

Sebagaimana orang dewasa, aku pun berlari ingin melihat dari dekat. Aku lemas seketika itu. Rumahkulah yang dilibas si jago merah, ternyata. Aku kebingungan dalam malam yang mencekam. Aku pun tak tahu, harus berkata apa. Aku terisak-isak. Dan tak satu pun yang tahu, bahwa aku tengah berduka karena kebakaran itu.

***

Aku berada di dalam rumah tetangga depan rumahku. Aku tetap menangis. Sedangkan puluhan orang berusaha memadamkan api.  Berpuluh-puluh orang berjibaku. Mereka pontang-panting mencari air. Berteriak-teriak memanggil nama bapak dan ibuku.

Dua jam lebih berlalu, api kemudian bisa dipadamkan. Rumahku ludes, tak setinggi semeter pun tersisa. Hanya puing dan bara serta asap yang menghiasi reruntuhan itu.

Akhirnya, kedua orang tuaku bisa ditemukan. Mereka berada di tempat pintu depan berada. Sepertinya mereka hendak keluar rumah, tapi tak bisa, kata orang-orang.

“Mungkin api berasal dari lampu teplok yang berada di kandang ayam dekat dapur!” kata Pakde Sawidi.

Keluargaku punya satu induk ayam dan sepuluh anak eraman.  Di dekatnya ditaruh teplok untuk penerangan. Mungkin tersentuh kucing atau apalah, hingga teplok itu jatuh dan minyak tanah menyebar tersambar api.

Aku tak berani mendekati jasad kedua orang tuaku. Yang aku tahu orang-orang merasa iba melihatnya. Pernah aku bertanya tentang hal itu. Mereka enggan menceritakan kepadaku, biarpun aku telah dewasa. “Sudahlah, lupakan saja. Doakan saja Bapak sama Ibumu.”  Aku berusaha mengerti itu.

Berarti, kebakaran itu dari dapur, dugaku. Karena dinding-dinding rumah kami dari anyaman bambu, juga langit-langitnya, termasuk kaso-kaso, api seperti menemukan mainannya. Jilatannya menjalar ke bagian yang lain secara cepat. Aku yakin, Bapak dan Ibu terkejut dan kemudian berusaha keluar rumah lewat pintu depan. 

Tentu saja, keduanya tidak bisa keluar rumah. Mereka terjebak di dalam. Aku yakin, mereka mencari-cari anak kunci. Tapi tak mendapati. Untuk melompat lewat lubang jendela rasanya sulit. Jeruji-jeruji kayu menghalangi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun