Maka, aku yang sudah kelas enam SD itu berjinjit-jinjit keluar rumah lewat pintu depan. Aku buka dengan lembut, agar derit pintu tidak terlalu keras.
Aku berhasil. Kemudian melangkah meninggalkan rumah dengan sarung terlipat memanjang menggantung pada leher. Untuk menghormati ibu, aku berangkat tanpa alas kaki. Pikirku tak mengapa tak bersandal. Toh, jaraknya cuma tiga ratus meter.
***
Langit cerah. Bintang-bintang menebar pesona. Angin semilir menelusup setip celah kerumunan orang-orang. Membelai kulit, membuat kami kadang merinding dingin.
Lampu-lampu neon armada perusahaan rokok memendar menghias malam. “Malam minggu yang menyenangkan,” kataku kepada teman-teman. “Ya….!” sahutnya ramai. Kami lantas berlarian mengitari semua yang menggoda mata kami. Mata anak-anak yang sejati.
Warga sudah berdesakan memadati lapangan. Tak ubahnya pasar malam, mendadak banyak pedagang makanan dan mainan berderet di pinggiran lapangan. Bagai sebuah magnet saja layar tancap itu!
“Wah, selamat ya! Sampean dapat petromak!” Seseorang dengan pengeras suara memberi tahu pembeli rokok yang menukar kupon. Ia mendapat undian berhadiah malam itu. Sepertinya, semua jadi iri, ingin membeli rokok, siapa tahu mereka beruntung juga.
Malam semakin menua. Tetapi belum juga film diputar. Penonton yang telah duduk di atas rerumputan mulai gusar. Beberapa dari mereka memainkan senter ke arah layar putih di hadapan mereka.
“Mohon sabar ya, semuanya. Sebentar lagi akan dimulai!” kata pemegang mic.
Kami yang anak-anak, yang duduk paling depan tidak kalah gusarnya dengan yang lebih tua. Menunggu memang menyebalkan. Dan anak-anak melempar-lempar layar itu dengan sandal jepit. Itulah cari kami protes: agar film segera diputar!
Tapi, selalu saja dari pengeras suara berbunyi, “Sabar saja. Sebentar lagi….”