Mohon tunggu...
Sarwo Prasojo
Sarwo Prasojo Mohon Tunggu... Angin-anginan -

Suka motret, tulas-tulis dan ini itu. Dan yang pasti suka Raisa

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Sebuah Gambar Warung

28 Februari 2016   14:56 Diperbarui: 28 Februari 2016   17:49 379
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 [caption caption="id.klippingsastra.com"][/caption]Anak-anak kelas V tampak riang saja setelah semua duduk di bangku masing-masing. Suasana kelas belum ubahnya dengan istirahat baru saja. Riuh. Hanya satu dua anak yang mulai menyiapkan alat tulis untuk diletakkan di mejanya. Mereka baru tenang, setelah Ibu Guru Susanti, masuk ruang kelas.

“Baiklah, anak-anak. Kali ini akan ada kegiatan menarik untuk jam pelajaran sekarang.”

Seruangan menanti kelanjutannya. Wajahnya tercerahkan oleh kalimat tadi: kegiatan menarik!

Satu dan yang lain saling melempar pandang. Ada yang mengangkat alis, mengangkat bahu. Bahkan malah berbalik berpelototan mata meledek, kemudian tersenyum.

“Keluarkan buku gambar kalian,” perintah Ibu Guru Susanti. “Kalian saya kasih tugas menggambar!”

Hore….…..!

Sebentar, sebentar! Ibu Guru mencoba mendiamkan suasana kelas. Nampaknya semua anak girang bukan buatan diberi tugas itu. Bersegera mereka mengeluarkan wadah alat tulis dan buku gambar.

“Dengarkan! Ayo, dengarkan sebentar!” Suasana kembali tenang.

“Kalian ibu beri tugas untuk menggambar tempat yang berkesan bagi diri kalian. Tempat yang sulit untuk dilupakan. Yang membuatmu ingin kembali ke sana. Paham?”

Serempak mereka menyahut: “Paham, Bu!”

“Nah, untuk itu, kalian bawa alat mengambar dan bukunya. Kalian keluar kelas dan mencari tempat yang enak untuk mengambar. Di mana pun boleh. Ingat, jangan mengganggu kelas lain. Jaga ketenangan kalian. Dan gambar itu harus dikumpulkan hari ini juga!”

Anak-anak pun segera berhamburan. Mencari tempat yang dirasa pas untuknya. Ada yang di bawah pohon halaman sekolah, di teras perpustakaan. Tapi kebanyakan berderet di teras sekolah. Lelaki dan perempuan tersebar dan menyendiri, tak mau diganggu satu sama lain.

Ibu Susanti memandang mereka dari kejauhan. Senang. Kemudian menuju ruang guru. Duduk dan menghabiskan kue yang masih tersisa sewaktu jam rehat tadi. Seteguk air teh manis membasahi tenggorokan. Ia raih gadgetnya: membuka WA. Ia balas pesan-pesan yang masuk, yang lucu-lucu itu. Ah, hari yang menyenangkan, batinnya.

Lima belas menit berlalu. Bu guru Susanti mendekat murid-muridnya. Menatap sekilas tanpa banyak tanya. Eka murid yang manis itu menggambar Kebun Raya Bogor, Leila tengah mencoretkan pensilnya memperjelas Tugu Monas. Hari, murid paling besar tubuhnya menggaruk-garuk kepala, tampaknya kesulitan mengambar gajah di Kebun Binatang Ragunan.

Banyak lagi tempat-tepat yang dituangan ke dalam kertas. Semua mencoba membuka memori, dan menumpahkannya pada selembar kertas putih dalam buku gambar yang diletakkan pada sebuah papan kecil berpenjepit.

Di sudut kantin sekolah, Jamal tengah memusatkan perhatian. Garis-garis tajam dan samar dipadupadankan menjadi sebuah komposisi yang harmoni, menurut ukuran anak sekelas dia.

“Inilah tempat yang paling aku senangi. Yang bikin aku mengagumi.” Batinnya.

Tak sekali pun ia mencoba beranjak dari tempat itu. Tak tahu juga, tempat-tempat apa saja yang menjadi inspirasi teman-temannya. Ah, paling tempat-tempat wisata, yang mereka gambar, duganya.

Sesekali ia beringsut. Pantatnya digoyang-goyangkan. Tampaknya, selangkangannya disusupi seekor semut. Tangan kirinya reflek bertindak, mengarah ke posisi semut bersembunyi. “Huh! Mengganggu saja!”

Waktu menggambar telah selesai. Semua murid mengumpulkan hasilnya di meja guru. “Sudah semua?” tanya Bu Susanti. Perempuan itu memandang sekililing ruangan. “Baiklah,semua sudah menyelesaikan tugas hari ini.

***
Di ruang Guru, Ibu Susanti memandang gambar muridnya satu per satu. Sesekali menggelengkan kepala. Kadang tersenyum geli. Tapi mengerutkan dahi pun terjadi, ketika melihat hasil milik Jamal. Tak seperti yang lain, sebagaimana dugaan anak ini. Teman-temannya banyak menggambar tempat wisata. Yang di Jakarta, atau luar ibukota. Semua menarik, mengesankan. Sedang punya Jamal membuat ibu guru itu terkesima.

“Gambar sebuah warung?” berkata ia sambil kedua tangannya menimbang-nimbang buku gambar itu.

Jamal menuangkan goresan pensilnya menjadi sebuah tempat jualan: rokok, kopi dan lainnya. Gambar sederhana, tentunya. Ada seorang perempuan yang terlihat kepalanya. Di luar warung tampak bangku. Beberapa orang tengah berdiri membeli.

“Apa yang menarik bagi Jamal. Kenapa warung?” perempuan itu bertanya dalam hati.

Karena lain dari yang lainnya, penasaranlah Bu Guru Susanti. Perempuan berkaca mata minus ini memang senang dengan ketidaksamaan, keanehan bahkan kejanggalan. Di sanalah, baginya, ia bisa menemukan pengetahuan baru. Menemukan sudut pandang yang berbeda dan itu mencerahkan sekaligus menuai kejutan.

Maka, ia meminta Jamal menemuinya di ruang guru pada suatu ketika. Ia bikin sesantai mungkin. Dan, Jamal yang semula tegang, wajahnya meleleh. “Ibu senang dengan gambarmu, Jamal.”

Jamal nyengir sekedarnya. Baginya, ia sebatas mengerjakan tugas. Tidak ada yang lebih dari itu. Gambar itu, tempat yang ia senangi, yang mengesankan: sebuah warung kecil.

“Warung. Apa saja yang dijual di warung yang kamu gambar, Jamal?”

Wah, banyak Bu, ucapnya. Dari kebutuhan dapur, permen, rokok, dan roti. Kartu remi juga ada. Lengkap, Bu. Sampai tak ingat, karena banyak sekali.

Bu Susanti tersipu-sipu mendengar anak itu menyebut Kartu remi.

“Kenapa kamu menggambar warung itu. Bukan yang lain.”

“Karena, itu warung Emak. Emak Jamal yang jualan di situ.”

“Oh. Itu warung Emakmu!” Bu Guru itu menyandarkan punggung ke kursi. “Apa yang membuatmu mengagumi warung emakmu?”

Awalnya ia sedikit canggung bercerita. Apalagi dengan gurunya. “Ayolah, saya juga bisa kagum dengan warung itu, kalau kamu mau bercerita,” pinta perempuan itu.

Saya senang sekali menunggu warung menemani Emak. Membantu mengambilkan apa yang diminta pembeli. Jadi, saya tahu, Bu, nama begitu banyak barang jualan, juga tempatnya, walaupun bertumpuk-tumpuk kurang teratur.

Bu Guru Susanti membinarkan mata. Mengatupkan bibirnya agak dalam. Sesekali membenarkan ujung kerudungnya.

Emak bilang, dari sini Emak dapat duit buat membiayai sekolah saya juga kakak saya. Emak mengajari, cara mendapat untung. Ia tunjukkan harga belanja, kemudian berapa harga jualnya. Sederhana sekali. Saya jadi tahu, berapa untungnya. Dua ratus perak sampai seribu. Yang lebih dari itu juga ada.  Tapi sedikit jenisnya.

“Tuh, segitu, Mal untungnya. Makanya, hati-hati buang duit. Kamu mesti belajar hemat, nyari duit itu kagak gampang!” Jamal mengingat kembali pesan Emaknya.

Suatu kali ia ingin beli layangan. Emaknya melarang. Kata Emak, tiga ribu, empat ribu itu mahal, Jamal! Mendingan nunggu layangan putus, kata Emaknya. Ia manut, walaupun mendongkol. Ia pun mencoba mengejar layangan putus pada suatu sore. Berkejaran dengan beberapa temannya. Ia lebih cepat dan dapat. Dan ia merasakan, nikmatnya mendapatkan layangan putus. Butuh perjuangan. Di hatinya, harga layangan itu serasa jauh lebih tinggi nilainya dari tiga ribu perak. Pelajaran sederhana dari Emak.

Bu Guru terpana. “Dan warung itu akan selalu kamu kenang, Jamal?”

“Iya, Bu. Apalagi sudah ada kepastian,” ucap Jamal.

“Kepastian? Kepastian apa?”

“Kepastian, warung Emak harus dibongkar,” jelas Jamal.

Perempuan itu baru paham, setelah Jamal menjelaskan, warung Emaknya berada di sekitar Kalijodo. Keluarga mereka harus tercabut dari wilayah itu. Dan, akan menjadi penghuni salah satu rumah susun.  Dan mereka harus menyewa tiap bulan.

“Itulah, mengapa saya menggambar warung itu. Tempat itu akan dirobohkan beberapa hari lagi. Dan saya entah bagaimana, apakah bisa ketemu Ibu lagi di sini atau tidak. Kan, tempat cari duit emak akan hilang. Entahlah, di tempat baru nanti. Bisakah Emak jualan lagi.”

Anak yang belum genap setahun ini ditinggal mati ayahnya karena kecelakaan itu, lantas menundukkan wajah. Matanya berkaca-kaca. Demikian juga Ibu Guru Susanti, yang tadi berbinar-binar, berubah sendu. Ia mengalihkannya dengan menunduk dan melihat kembali gambar warung milik Emak Jamal. Ia mengambil ballpoint. Ditulislah nilai angka delapan dengan tinta merah di bawah gambar warung itu.

Tidak ada lagi pertanyaan yang ia tujukan pada anak yang ada di hadapannya. Baginya sudah cukup. Cukup mengerti, mengapa ia menggambar warung itu.

 

____Bumi Cahyana, 28 Februari 2016

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun