Jamal menuangkan goresan pensilnya menjadi sebuah tempat jualan: rokok, kopi dan lainnya. Gambar sederhana, tentunya. Ada seorang perempuan yang terlihat kepalanya. Di luar warung tampak bangku. Beberapa orang tengah berdiri membeli.
“Apa yang menarik bagi Jamal. Kenapa warung?” perempuan itu bertanya dalam hati.
Karena lain dari yang lainnya, penasaranlah Bu Guru Susanti. Perempuan berkaca mata minus ini memang senang dengan ketidaksamaan, keanehan bahkan kejanggalan. Di sanalah, baginya, ia bisa menemukan pengetahuan baru. Menemukan sudut pandang yang berbeda dan itu mencerahkan sekaligus menuai kejutan.
Maka, ia meminta Jamal menemuinya di ruang guru pada suatu ketika. Ia bikin sesantai mungkin. Dan, Jamal yang semula tegang, wajahnya meleleh. “Ibu senang dengan gambarmu, Jamal.”
Jamal nyengir sekedarnya. Baginya, ia sebatas mengerjakan tugas. Tidak ada yang lebih dari itu. Gambar itu, tempat yang ia senangi, yang mengesankan: sebuah warung kecil.
“Warung. Apa saja yang dijual di warung yang kamu gambar, Jamal?”
Wah, banyak Bu, ucapnya. Dari kebutuhan dapur, permen, rokok, dan roti. Kartu remi juga ada. Lengkap, Bu. Sampai tak ingat, karena banyak sekali.
Bu Susanti tersipu-sipu mendengar anak itu menyebut Kartu remi.
“Kenapa kamu menggambar warung itu. Bukan yang lain.”
“Karena, itu warung Emak. Emak Jamal yang jualan di situ.”
“Oh. Itu warung Emakmu!” Bu Guru itu menyandarkan punggung ke kursi. “Apa yang membuatmu mengagumi warung emakmu?”