Mohon tunggu...
Sarwo Prasojo
Sarwo Prasojo Mohon Tunggu... Angin-anginan -

Suka motret, tulas-tulis dan ini itu. Dan yang pasti suka Raisa

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Lelaki Pengunjung Warung Kopi

4 Februari 2016   19:19 Diperbarui: 4 Februari 2016   22:14 325
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebenarnya malam tengah muram. Mendung sedari sore belum menampakkan keikhasannya untuk pudar dan pergi. Atau sekalian berubah menjadi butiran air, hingga hujan benar-benar menjadi bahan cerita bagi orang-orang yang tengah berada di Warung Kopi “Usah Kau Lara Sendiri”.

Maka obrolan mereka pun tak lebih untuk mengalihkan persoalan politik menjadi guyonan pada seputaran meja. Hingga kemudian seseorang berjaket hitam, dengan kumis tipis dan potongan rambut rockabilly memasuki warung.  Kelimanya berhenti bersuara. Menatap lelaki muda yang baru dilihatnya. Asing, pikir mereka.

“Selamat malam, Bapak-bapak.” Ia menyapa dan menyalami semua. Lantas menarik kursi pada satu meja yang lain. “Minta kopinya, agak manis,” katanya sambil menghadap arah ke pemilik warung. Suaranya halus.

Kelima lelaki yang tengah mengitari satu meja itu masih terdiam. Belum satu pun yang membuka pembicaraan lanjutan. Entah karena ada orang yang baru datang, yang baru kali ini dilihatnya. Atau karena sengaja tidak ada yang berminat untuk meneruskan.

Pemilik warung sedikit mengeraskan volume televisi 12 inci. Getaran suaranya menggoyang-goyang  debu yang singgah pada televisi itu. Semua yang ada di sana secara hampir bersamaan menatap layar televisi. Tak terkecuali pengunjung warung yang baru datang. Sebuah reportase pembunuhan tengah menjadi program sebuah televisi berita.

Mungkin karena malam mulai larut, kelima lelaki yang tampaknya akrab itu undur diri. Tinggallah lelaki muda itu sendiri. Mungkin usianya di bawah empat puluh tahun. Sebungkus rokok mild tergeletak dengan korek gas di atasnya. Sekali waktu ia menjentikkan rokok pada asbak yang telah ia tarik mendekati dirinya. Sudah ada dua puntung sisa rokoknya. Dan yang ada ditangannya kini, untuk yang ketiga.

Sampai akhirnya ia pun pulang tanpa banyak basa-basi dengan pemilik warung.

Untuk kali berikutnya, lelaki itu mengunjungi Warung kopi “Usah Kau Lara Sendiri”. Hanya berjeda enam hari dari kedatangan terakhirnya. Begitu pun jeda antara kedatangan kedua dengan yang pertama. Dan, pemilik warung kemudian mulai mengajaknya bercakap saat warung tak ada lagi pengunjung.

“Nama saya Kus. Kusno. Pendek saja.” Lelaki itu mengenalkan diri.

“Oh. Pak Kusno….” Pemilik warung itu mencoba menyebut nama lelaki itu.

“Saya intelijen.”

Mendengar kata intelijen, pemilik warung itu terdiam.  Dahinya berkerut. Pikirannya bercabang. “Ada masalah apa di sini?” Dalam hati ia bertanya.

Lelaki yang mengaku intelijen itu tampaknya tahu, lelaki pemilik warung tengah bergulat dengan pikirannya. Dengan aneka dugaan.

“Jangan takut, Pak. Saya nggak bawa senjata.” Ia bicara. Tersenyum. Rokok mildnya dihisap ringan. Serangkai kemudian, tangan kanan mengambil gelas kopi dan menyeruputnya.

***
Ternyata lelaki itu intelijen, kata pemilik warung kepada dua orang yang dulu pernah melihat kali pertama lelaki yang bernama Kusno bertandang ke warung itu.

“Intelijen?” Satu orang seperti ingin mendapat satu kepastian atas yang baru saja didengarnya.

“Ya, intelijen. Ia bilang begitu, kemarin,” tegas pemilik warung.

Makin hari, cerita tentang kedatangan intelijen di warung kopi “Usah Kau Lara Sendiri” bergerak cepat seperti debu diterpa angin kencang. Semua jadi cemas. Mereka pun jadi penuh tanya: ada apa di sini?

Seseorang yang telah lanjut usia bercerita, dulu ia harus berurusan dengan orang intelijen. Entah salah apa, dirinya digelandang ke sebuah tempat. Ditanya macam-macam. “Apakah simpatisan partai terlarang?” Kata lelaki itu, dia bingung dengan semua itu. Saya kan sholat, puasa, ujug-ujug mendapat pertanyaan seperti itu. Oh, takut sekali. Takut dipenjara, ucapnya.

Lelaki itu lantas nekat bertanya: dari mana tuduhan itu? Aparat itu menjawab, “Ada yang melapor, saudara meletakkan palu dan arit berjejeran di halaman rumah. Itu simbol komunis.” Dan lelaki itu baru sadar dengan kebiasaannya, menjemur kedua alat itu setelah dipakai. “Itu kan alat kerja sehari-hari!” tangkisnya. Selanjutnya, lelaki itu dipulangkan.

“Saya dulu dituduh tidak mendukung program pembangunan. Anti Keluarga Berencana!” Kali ini lelaki cukup umur, tetapi suaranya masih runcing menembus telinga. Kata lelaki itu, saat itu dirinya ingin punya anak lagi, perempuan, karena ketiga yang ada semua laki-laki. Saya cuma bilang ke istri saya waktu itu, “Jangan ikut KB!”

Ia mengenang itu sembari menggelengkan kepala. Mungkin ada yang kurang suka dengan ucapannya. Entah dari siapa sumbernya, lelaki itu lantas diinterogasi. Diingatkan padanya untuk tidak melawan program pemerintah, kisahnya. Lelaki itu kemudian tersenyum,”Masak sih, istri sendiri nggak boleh dihamili?”

Makin hari cerita-cerita tetang intelijen terkumpul seperti sebuah antalogi. Mereka orang-orang tua yang mengenyam pahitnya suatu masa. Tentang kuatnya sebuah rezim, yang bisa menelusup sampai ke urusan apapun.

***
Warung kopi “Usah Kau Lara Sendiri” terkena imbas. Sepi pengunjung. Kalaupun ada, tak sampai larut malam. Setidaknya cukup selepas maghrib. Tampaknya, cerita tentang kedatangan intelijen menepis kebiasaan mereka untuk nongkrong di warung. Mereka cemas.

Sambil menghitung hari, pemilik warung itu mengamati: warungnya tak lagi seramai dulu. Gunjingan orang-orang sudah sampai ke telinganya. “Karena orang intelijen itu?”

Jadinya ia menyesal. Kenapa bercerita. Bukankah kalau diam saja, itu lebih baik. Tapi ia pun kini malah balik bertanya pada dirinya,”Benarkan dia intelijen?”

“Oh, kenapa tak berpikir sampai ke situ. Jangan-jangan cuma mengaku-aku!”

Sampai pada kemudian hari, lelaki yang mengaku intelijen itu mendatangi warung kopi “Usah Kau Lara Sendiri“. Seperti biasa, ia berkunjung pada malam hari.

“Kok sepi?” tanyanya.

“Seminggu ini sepi. Makin hari tambah sepi.” Ujar pemilik warung.

“Kenapa?”

Pemilik warung itu menghampiri lelaki itu, diletakkannya tatakan dan segelas kopi pada meja yang dihadapinya. “Silakan,” katanya. “Terimakasih," lelaki itu singkat menjawab.

Karena penasaran, setelah dari dapur warung, ia mendekati lelaki itu lagi.

“Mungkin. Ini mungkin.” Pemilik warung memulai bicara sembari menduduki satu kursi yang tengah rindu dengan sentuhan pantat pemiliknya. “Ini karena mereka tahu, ada intelijen sering kemari.”

“Oh. Dari mana mereka tahu?”

“Dari saya,” Pemilik warung itu berterus terang tanpa takut.

Lelaki itu menatap pemilik warung. Kemudian dagunya berangguk-anguk anggun. Tak kentara. Ia menatap dengan takzim. Kemudian tangannya menepuk-tepuk lengan kiri pemilik warung itu. “Tidak masalah.”

Pemilik warung sejatinya khawatir, keterusterangannya membuatnya marah. Ternyata tidak. Dan ia pun kemudian bertanya lagi. “Bolehkah saya tahu, apa bukti bahwa Bapak seorang intelijen?”

Dengan tenang ia mengaktifkan gadgetnya. Nal nul nal nul, sentuhnya pada layar, dan ia menunjukkan sebuah foto. “Ini surat pengangkatan saya.”

Pemilik warung kopi “Usah Kau Lara Sendiri” menganggung-angguk. Sekarang saya sudah yakin, ucapnya.

Hanya saja, setelah malam itu, lelaki tersebut tak kunjung datang lagi. Berhari-hari ditunggu. Tetap saja tak muncul batang hidungnya.

“Sekarang ia tak datang lagi,” pemilik warung itu memberi tahu kepada setiap pelanggannya yang datang.

Lambat laun, warung itu menampakkan keceriaannya. Malam kembali diramaikan para pengunjung yang gemar membuang waktu, berbicara tak ubahnya pengamat politik, hukum, sosial bahkan anggota dewan.

Dan pemilik warung punya inisiatif untuk memajukan usahanya. Nama “Usah Kau Lara Sendiri” hendak diganti. Menurutnya deretan kata itu  terlalu sentimental. Sudah tidak peka jaman.”

Selanjutnya ia memasang papan nama baru di depan warung kopinya. Beberapa orang yang melihatnya terpana. Berdiri menyaksikan detik-detik yang bersejarah itu.

“Dengan semangat baru dan citra baru, saya mengganti nama tempat ini menjadi Warung Kopi Intelijen.” Suara lelaki pemilik warung itu lantang memecah siang sebelum adzan dhuhur bergema.

"Kenapa pakai nama itu?" seseorang bertanya.

Lelaki pemilik warung menyungging senyum.  "Biar kita tidak merasa takut.  Sekalian buat mengenang lelaki yang pernah datang ke sini itu," kilahnya.

 

 

______ Bumi Cahyana, 4 Februari 2016

 

Ilustrasi:sharingdisana.com

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun