“Mungkin. Ini mungkin.” Pemilik warung memulai bicara sembari menduduki satu kursi yang tengah rindu dengan sentuhan pantat pemiliknya. “Ini karena mereka tahu, ada intelijen sering kemari.”
“Oh. Dari mana mereka tahu?”
“Dari saya,” Pemilik warung itu berterus terang tanpa takut.
Lelaki itu menatap pemilik warung. Kemudian dagunya berangguk-anguk anggun. Tak kentara. Ia menatap dengan takzim. Kemudian tangannya menepuk-tepuk lengan kiri pemilik warung itu. “Tidak masalah.”
Pemilik warung sejatinya khawatir, keterusterangannya membuatnya marah. Ternyata tidak. Dan ia pun kemudian bertanya lagi. “Bolehkah saya tahu, apa bukti bahwa Bapak seorang intelijen?”
Dengan tenang ia mengaktifkan gadgetnya. Nal nul nal nul, sentuhnya pada layar, dan ia menunjukkan sebuah foto. “Ini surat pengangkatan saya.”
Pemilik warung kopi “Usah Kau Lara Sendiri” menganggung-angguk. Sekarang saya sudah yakin, ucapnya.
Hanya saja, setelah malam itu, lelaki tersebut tak kunjung datang lagi. Berhari-hari ditunggu. Tetap saja tak muncul batang hidungnya.
“Sekarang ia tak datang lagi,” pemilik warung itu memberi tahu kepada setiap pelanggannya yang datang.
Lambat laun, warung itu menampakkan keceriaannya. Malam kembali diramaikan para pengunjung yang gemar membuang waktu, berbicara tak ubahnya pengamat politik, hukum, sosial bahkan anggota dewan.
Dan pemilik warung punya inisiatif untuk memajukan usahanya. Nama “Usah Kau Lara Sendiri” hendak diganti. Menurutnya deretan kata itu terlalu sentimental. Sudah tidak peka jaman.”