Sebenarnya malam tengah muram. Mendung sedari sore belum menampakkan keikhasannya untuk pudar dan pergi. Atau sekalian berubah menjadi butiran air, hingga hujan benar-benar menjadi bahan cerita bagi orang-orang yang tengah berada di Warung Kopi “Usah Kau Lara Sendiri”.
Maka obrolan mereka pun tak lebih untuk mengalihkan persoalan politik menjadi guyonan pada seputaran meja. Hingga kemudian seseorang berjaket hitam, dengan kumis tipis dan potongan rambut rockabilly memasuki warung. Kelimanya berhenti bersuara. Menatap lelaki muda yang baru dilihatnya. Asing, pikir mereka.
“Selamat malam, Bapak-bapak.” Ia menyapa dan menyalami semua. Lantas menarik kursi pada satu meja yang lain. “Minta kopinya, agak manis,” katanya sambil menghadap arah ke pemilik warung. Suaranya halus.
Kelima lelaki yang tengah mengitari satu meja itu masih terdiam. Belum satu pun yang membuka pembicaraan lanjutan. Entah karena ada orang yang baru datang, yang baru kali ini dilihatnya. Atau karena sengaja tidak ada yang berminat untuk meneruskan.
Pemilik warung sedikit mengeraskan volume televisi 12 inci. Getaran suaranya menggoyang-goyang debu yang singgah pada televisi itu. Semua yang ada di sana secara hampir bersamaan menatap layar televisi. Tak terkecuali pengunjung warung yang baru datang. Sebuah reportase pembunuhan tengah menjadi program sebuah televisi berita.
Mungkin karena malam mulai larut, kelima lelaki yang tampaknya akrab itu undur diri. Tinggallah lelaki muda itu sendiri. Mungkin usianya di bawah empat puluh tahun. Sebungkus rokok mild tergeletak dengan korek gas di atasnya. Sekali waktu ia menjentikkan rokok pada asbak yang telah ia tarik mendekati dirinya. Sudah ada dua puntung sisa rokoknya. Dan yang ada ditangannya kini, untuk yang ketiga.
Sampai akhirnya ia pun pulang tanpa banyak basa-basi dengan pemilik warung.
Untuk kali berikutnya, lelaki itu mengunjungi Warung kopi “Usah Kau Lara Sendiri”. Hanya berjeda enam hari dari kedatangan terakhirnya. Begitu pun jeda antara kedatangan kedua dengan yang pertama. Dan, pemilik warung kemudian mulai mengajaknya bercakap saat warung tak ada lagi pengunjung.
“Nama saya Kus. Kusno. Pendek saja.” Lelaki itu mengenalkan diri.
“Oh. Pak Kusno….” Pemilik warung itu mencoba menyebut nama lelaki itu.
“Saya intelijen.”