Makin hari cerita-cerita tetang intelijen terkumpul seperti sebuah antalogi. Mereka orang-orang tua yang mengenyam pahitnya suatu masa. Tentang kuatnya sebuah rezim, yang bisa menelusup sampai ke urusan apapun.
***
Warung kopi “Usah Kau Lara Sendiri” terkena imbas. Sepi pengunjung. Kalaupun ada, tak sampai larut malam. Setidaknya cukup selepas maghrib. Tampaknya, cerita tentang kedatangan intelijen menepis kebiasaan mereka untuk nongkrong di warung. Mereka cemas.
Sambil menghitung hari, pemilik warung itu mengamati: warungnya tak lagi seramai dulu. Gunjingan orang-orang sudah sampai ke telinganya. “Karena orang intelijen itu?”
Jadinya ia menyesal. Kenapa bercerita. Bukankah kalau diam saja, itu lebih baik. Tapi ia pun kini malah balik bertanya pada dirinya,”Benarkan dia intelijen?”
“Oh, kenapa tak berpikir sampai ke situ. Jangan-jangan cuma mengaku-aku!”
Sampai pada kemudian hari, lelaki yang mengaku intelijen itu mendatangi warung kopi “Usah Kau Lara Sendiri“. Seperti biasa, ia berkunjung pada malam hari.
“Kok sepi?” tanyanya.
“Seminggu ini sepi. Makin hari tambah sepi.” Ujar pemilik warung.
“Kenapa?”
Pemilik warung itu menghampiri lelaki itu, diletakkannya tatakan dan segelas kopi pada meja yang dihadapinya. “Silakan,” katanya. “Terimakasih," lelaki itu singkat menjawab.
Karena penasaran, setelah dari dapur warung, ia mendekati lelaki itu lagi.