Mendengar kata intelijen, pemilik warung itu terdiam. Dahinya berkerut. Pikirannya bercabang. “Ada masalah apa di sini?” Dalam hati ia bertanya.
Lelaki yang mengaku intelijen itu tampaknya tahu, lelaki pemilik warung tengah bergulat dengan pikirannya. Dengan aneka dugaan.
“Jangan takut, Pak. Saya nggak bawa senjata.” Ia bicara. Tersenyum. Rokok mildnya dihisap ringan. Serangkai kemudian, tangan kanan mengambil gelas kopi dan menyeruputnya.
***
Ternyata lelaki itu intelijen, kata pemilik warung kepada dua orang yang dulu pernah melihat kali pertama lelaki yang bernama Kusno bertandang ke warung itu.
“Intelijen?” Satu orang seperti ingin mendapat satu kepastian atas yang baru saja didengarnya.
“Ya, intelijen. Ia bilang begitu, kemarin,” tegas pemilik warung.
Makin hari, cerita tentang kedatangan intelijen di warung kopi “Usah Kau Lara Sendiri” bergerak cepat seperti debu diterpa angin kencang. Semua jadi cemas. Mereka pun jadi penuh tanya: ada apa di sini?
Seseorang yang telah lanjut usia bercerita, dulu ia harus berurusan dengan orang intelijen. Entah salah apa, dirinya digelandang ke sebuah tempat. Ditanya macam-macam. “Apakah simpatisan partai terlarang?” Kata lelaki itu, dia bingung dengan semua itu. Saya kan sholat, puasa, ujug-ujug mendapat pertanyaan seperti itu. Oh, takut sekali. Takut dipenjara, ucapnya.
Lelaki itu lantas nekat bertanya: dari mana tuduhan itu? Aparat itu menjawab, “Ada yang melapor, saudara meletakkan palu dan arit berjejeran di halaman rumah. Itu simbol komunis.” Dan lelaki itu baru sadar dengan kebiasaannya, menjemur kedua alat itu setelah dipakai. “Itu kan alat kerja sehari-hari!” tangkisnya. Selanjutnya, lelaki itu dipulangkan.
“Saya dulu dituduh tidak mendukung program pembangunan. Anti Keluarga Berencana!” Kali ini lelaki cukup umur, tetapi suaranya masih runcing menembus telinga. Kata lelaki itu, saat itu dirinya ingin punya anak lagi, perempuan, karena ketiga yang ada semua laki-laki. Saya cuma bilang ke istri saya waktu itu, “Jangan ikut KB!”
Ia mengenang itu sembari menggelengkan kepala. Mungkin ada yang kurang suka dengan ucapannya. Entah dari siapa sumbernya, lelaki itu lantas diinterogasi. Diingatkan padanya untuk tidak melawan program pemerintah, kisahnya. Lelaki itu kemudian tersenyum,”Masak sih, istri sendiri nggak boleh dihamili?”