Mohon tunggu...
Sarwo Prasojo
Sarwo Prasojo Mohon Tunggu... Angin-anginan -

Suka motret, tulas-tulis dan ini itu. Dan yang pasti suka Raisa

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Teror di Meja Warung Kopi

17 Januari 2016   17:22 Diperbarui: 17 Januari 2016   17:27 846
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Malam tengah menari, beringsut menuju larut. Angin lamat-lamat mengusap setiap yang dikenanya. Sedang di ujung sana, Pak RT memasuki Warung kopi. Santai sekali. Bercelana pendek jeans.  Di atasnya, T shirt warna putih dengan krah bergaris merah pada tepinya. Sementara pada hari itu, berita di berbagai media dan perbincangan di masyarakat terasa sangat panas: Teror.

Pak RT merespon dengan cepat situasi itu. Ia mengubungi jajaran pengurus untuk merapat di warung kopi. Segera berkumpul jam 9 malam, di warung Mang Jupri. Penting, urusan keamanan: demikian bunyi SMS yang dia kirim.

Semuanya membalas cepat, singkat: Oke.

Tiga huruf itu memantapkan Pak RT untuk segera lebih dulu mendatangi lokasi, sebelum yang lain. Memberi contoh sebagai pemimpin berkelas.

“Langsung ngopi, Pak RT?” Lelaki yang ditanya mengangkat telapak tangan kanan, menggoyangkannya. Dan Mang Jupri mengerti maksud isyarat itu: nanti saja.

Satu per satu muncul, memasuki tempat usaha Mang Jupri. Sampai akhirnya lengkap lima orang mengerumuni sebuah meja.

Suasana menjadi terlihat ramai. Asap rokok mengepul memijit langit-langit. Pemilik warung mulai menyiapkan gelas, gula dan bubuk kopinya, setelah Pak RT memberi isyarat dengan jempol ke atas. “Sip, Pak RT”, Mang Jupri membalasnya.

“Saya ingin tahu dari Pak Hendro, katanya kemarin ke Sarinah setelah peristiwa teror!”

“Benar, Pak RT. Tidak terlalu lama di sana. Sekedar ingin tahu, suasana yang sesungguhnya.”

“Terus, hasilnya bagaimana?” Suara Pak Rangkuti, Sekretaris RT.

“ Aman terkendali. Persis yang ada di tivi. Mantap deh kerja polisi. Salut buat mereka.”

Mang Jupri menghampiri meja, meletakkan satu demi satu gelas kopi ke hadapan mereka. Aroma kopi tubruk menelusup ke semua hidung para pengunjung warung. Sebuah sensasi tersendiri bagi penggila kopi.

“Jangan khawatir. Urusan warung biar saya yang bayar. Jangan pakai dana operasional RT.” Ujar Pak Ketua bercanda sembari melirik Pak Joni, bendahara RT.

“Silakan, Pak Hendro. Lanjutkan saja ceritanya.” Lagi, suara Pak RT.

“Begini Bapak-bapak. Melihat suasana di tempat kejadian, menurut saya, seperti tengah melihat kerumunan orang-orang yang tengah menyaksikan pembuatan film perang kota. Semua antusias. Mereka tampak gembira, jagoannya menang. Ya, para polisi itu, maksudnya! Jadi seperti tidak merasa... baru saja terjadi peristiwa yang mengerikan, menggegerkan ibukota.”

Semua terkesima. Asap rokok makin padat.  Di pojok warung, kipas angin berputar terseok-seok, seperti tengah menuju kematiannya.

“Apa karena itu, kita lantas harus berkumpul di sini, Pak RT?” Pak Juki bertanya.

“Ya, kurang lebih begitu.”

“Kok, kurang lebih?”

“Karena hidup ini penuh dengan ketidakpastian, Pak Juki.” Pak RT mengunci pertanyaan Pak Juki.

Oleh karena itu, saya melihat reaksi masyarakat terhadap aksi teror itu seperti menjungkirbalikkan tujuan yang ingin diciptakan. Mereka ingin membuat takut kita. Hasilnya malah terbalik. Ini  kan luar biasa. Mengagumkan. Pak Bambang mulai menunjukkan suaranya, setelah dari tadi berdiam.

“Apakah lantas itu yang membuat orang-orang berucap Kita Tidak Takut terhadapa terorisme?” tanya Pak Juki.

“Bisa saja demikian.” Kata Pak Hendro. “Mungkin semangat bangsa ini sudah sama. Sudah mengristal. Menolak apapun tindak kekerasan. Atas dalih apapun tindakan itu.”

Pak RT menyergah,”Bukankan itu di dunia maya, Pak Hendro!”

“Benar, Pak. Tapi kita tak boleh menyepelekan. Sekarang, dunia maya sudah menjadi kekuatan tersendiri.”

Sepertinya Pak RT belum sejalan dengan Pak Hendro. Tapi ia mencoba berpikir, sambil menyeruput kopinya yang sepertiga isinya sudah hijrah ke lambung.

“Apalah artinya bilang Kita Tidak Takut, tapi diam-diam punya rasa takut terhadap mercon. Bukankah begitu, Pak RT?” Tanpa diduga Mang Jupri ikut nimbrung, tak ayal membuat  para pejabat RT mengalihkan pandangan ke wajahnya.

Ada benarnya, kata RT sambil menatap pemilik warung. Orang yang bilang tidak takut sebenarnya punya ketakutan yang tersembunyi. Mang Jupri seperti bercanda, tapi dia lagi serius. Bayangkan saja, kita bilang tidak takut terorisme, kelihatannya gagah dan menarik. Tapi saya membayangkan, bagaimana kalau kita dilempar coro, kemudian ketakutan. “Ini kan jadi aneh, hahaha. Maaf lo, Pak Hendro. Saya bercanda.”

"Justru karena mereka berkata Kita Tidak Takut, saya malah jadi takut," kata Pak Joni sambil menatap Pak Hendro.

“Kenapa begitu?”

Begini, rasa takut itu sesuatu yang manusiawi. Kita semua pernah takut. Tapi tidak juga perlu diceritakan, supaya orang lain tidak mempermainkan karena ketakutan kita. Berani pun tidak perlu juga disampaikan dengan ucapan. Kesannya kita sedang menyembunyikan ketakutan.

“Terus, maunya bagaimana, Pak Bambang,” Pak Hendro penasaran.

“Lihat di Palestina. Anak-anak, para pemuda berani melawan tentara Israel yang bersenjata lengkap, berkendaraan militer modern. Mereka berani. Mereka melawan. Mereka menunjukkan tidak takut dengan teror Israel. Kenapa mereka begitu. Karena mental mereka teruji setiap waktu.”

“Wah, kenapa membandingannya dengan Palestina.” Tampaknya Pak Hendro kurang sreg.

Pak Juki mengambil alih kemudi bicara. Katanya, jangan-jangan, kalau kita bilang Kita Tidak Takut, para teroris jadi tergila-gila menakut-nakuti kita. Itu yang dia khawatirkan. Pikirnya, mereka menjadi tersinggung, kemudian membuat aksi balasan yang besar, supaya kita benar-benar takut.

“Pak Juki pesimis juga, ya?” potong Pak Hendro.

Pak RT merangsak mengeluarkan pendapat. “Bagaimanapun kita harus mawas diri. Orang-orang kita gampang lupa. Saat seperti ini ramai-ramai bilang Kita Tidak Takut. Nanti lupa. Ingat kan kemarin-kemarin. Kita berusaha melawan korupsi. Tapi nyatanya, ada juga koruptor yang dipilih jadi anggota legislatif, jadi calon bupati, calon walikota. Lah, bagaimana ini.”

Ia menyelakan batang rokok di bibirnya. Menghisap dengan pelan dan mengeluarkan asap dengan cepat. “Nah, saya khawatir, itu hanya reaksi sesaat. Padahal urusannya lebih dari itu. Misalnya menghadang paham sesat ataupun radikal. Nah, kita seperti tidak fokus ke situ. Malah yang ramai, para perempuan bicara tentang polisi ganteng. Repot dong kalau begini.”

“Kok, Pak RT tahu?” Pak Rangkuti menonjokan pertanyaan.

“Istri saya yang kasih cerita!”

“Ha….ha….ha….ha!” Semua yang berada di warung itu tetawa. Tak terkecuali Mang Jupri yang duduk di terpisah dari kelompok itu.

Segelas kopi akhirnya menyisakan ampas yang mengendap tak bergerak. Sepiring pisang goreng kapok menyisakan runtuk di piring. Dan, malam pun memadatkan diri dengan kepekatannya. Tampaknya, situasi lingkungan sudah longgar. Sebagian besar warga sudah berada di huniannya masing-masing.

“Kita akhiri saja. Sudah malam. Saya sudah dapat SMS dari istri. Bahaya kalau sudah begini,” ujar Pak RT dengan nada datar.

Beberapa saat yang lalu, Bu RT sudah kirim SMS. Suaminya membaca di saat orang lain bicara: Sudah malam, pulang. Kalau bandel nggak dikasih jatah!

Empat orang yang lain mengangguk. Mereka pun sama, sudah mendapat SMS dari istrinya. Hanya karena tak enak hati terhadap Pak RT, mereka diam saja.  Atau setidaknya menunda dulu.

"Cepat Pulang. Apa mau tidur di teras!” SMS Bu Juki.
“Betah amat di luar. Ngaca, udah tua!” SMS Bu Bambang.
“Entar masuk angin. Ibu nggak mau ngerokin.” SMS Bu Hendro.
“Memang yang di rumah nggak bikin puas!” SMS Bu Rangkuti.

Segera, Pak RT menyodorkan uang ke Mang Jupri. Lima sekawan itu pun keluar meninggalkan warung. Kendatipun tidak saling mengakui satu sama lain. Perasaan mereka sama. SMS dari istri mereka tak beda dengan sebuah teror.

Dan karena SMS itu, mereka bersegera pulang.  Berjalan cepat seperti takut hantu. Tak ada canda sedikit pun sampai mereka berpisah menuju rumah masing-masing. Tampaknya, lima sekawan itu belum bisa keluar dari sebuah ketakutan yang menjerat selama ini: Takut terhadap istri. (***)

 

 

___________Bumi Cahyana, 17 Januari 2015

 

Gambar: enengingening.wordpress.com

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun