“Bisa saja demikian.” Kata Pak Hendro. “Mungkin semangat bangsa ini sudah sama. Sudah mengristal. Menolak apapun tindak kekerasan. Atas dalih apapun tindakan itu.”
Pak RT menyergah,”Bukankan itu di dunia maya, Pak Hendro!”
“Benar, Pak. Tapi kita tak boleh menyepelekan. Sekarang, dunia maya sudah menjadi kekuatan tersendiri.”
Sepertinya Pak RT belum sejalan dengan Pak Hendro. Tapi ia mencoba berpikir, sambil menyeruput kopinya yang sepertiga isinya sudah hijrah ke lambung.
“Apalah artinya bilang Kita Tidak Takut, tapi diam-diam punya rasa takut terhadap mercon. Bukankah begitu, Pak RT?” Tanpa diduga Mang Jupri ikut nimbrung, tak ayal membuat para pejabat RT mengalihkan pandangan ke wajahnya.
Ada benarnya, kata RT sambil menatap pemilik warung. Orang yang bilang tidak takut sebenarnya punya ketakutan yang tersembunyi. Mang Jupri seperti bercanda, tapi dia lagi serius. Bayangkan saja, kita bilang tidak takut terorisme, kelihatannya gagah dan menarik. Tapi saya membayangkan, bagaimana kalau kita dilempar coro, kemudian ketakutan. “Ini kan jadi aneh, hahaha. Maaf lo, Pak Hendro. Saya bercanda.”
"Justru karena mereka berkata Kita Tidak Takut, saya malah jadi takut," kata Pak Joni sambil menatap Pak Hendro.
“Kenapa begitu?”
Begini, rasa takut itu sesuatu yang manusiawi. Kita semua pernah takut. Tapi tidak juga perlu diceritakan, supaya orang lain tidak mempermainkan karena ketakutan kita. Berani pun tidak perlu juga disampaikan dengan ucapan. Kesannya kita sedang menyembunyikan ketakutan.
“Terus, maunya bagaimana, Pak Bambang,” Pak Hendro penasaran.
“Lihat di Palestina. Anak-anak, para pemuda berani melawan tentara Israel yang bersenjata lengkap, berkendaraan militer modern. Mereka berani. Mereka melawan. Mereka menunjukkan tidak takut dengan teror Israel. Kenapa mereka begitu. Karena mental mereka teruji setiap waktu.”