Tidak ada kebahagian yang bisa dilebihkan jika menemui ibunya dalam keadaan sehat. Bahkan, akan menjadi berlipat bilamana melihat ia mengurai tawa dan bergurau.
Rumah yang sederhana itu menjadi hangat. Lampu-lampu yang kemarin waktu meredup, kini seakan terangnya menguat. Ibunya senang, Aiman datang menengoknya. Anak bungsu, yang untaian doa untuknya melangit dari dini hari hingga malam dari orang tua yang tinggal satu itu. Bagaimana tidak, ia menjadi anak yang paling sedikit ditemani Bapaknya. Lelaki yang meninggal ketika Aiman baru meranjak dua tahun.
Malam itu, saat keduanya bercakap di dalam kamar, Ibu Aiman memamerkan sebuah sajadah. Panjang kali lebarnya tak beda dengan rata-rata yang banyak dipakai. Warnanya tunggal. Coklat tua yang menyebar merata pada permukaan yang lembut itu. .
“Ini bingkisan sewaktu kemarin ikut pengajian. Baru kali ini, ibu ikut pengajian beroleh bingkisan sajadah.”
Aiman menjulurkan tangan. Dimintalah sajadah itu. Ia pegang. Ia bentangkan. Ia menciumnya dua kali. Senyumnya mengembang. Bau kain yang belum lama dicuci, tebaknya dalam hati. Aroma lembut pewangi yang melekat, nakal membelai mesra bulu hidungnya.
“Apa Ibu masih ingat, isi pengajian waktu itu?” tanyanya seraya bergurau.
“Ingat. Tapi sedikit.” Ia mencoba mengeluarkan isi dalam memorinya.
“Ada seseorang, yang bicara paling akhir. Katanya, kami yang hadir diminta mengingat-ingat gambar nomor urut 1. Kami diminta pilih dia. Coblos calon Bupati kita. Begitu.”
Keduanya lantas tertawa kecil. "Itu namanya kampanye, Bu."
Sementara itu, pada langit-langit kamar, lima ekor cicak dewasa lagi bertubuh subur, terdiam mendengar perempuan tua itu bicara. Seekor nyamuk yang sedianya akan menjadi rebutan, dibiarkan terbang. Sepertinya mereka ingin pula menyimak tutur kata pemilik rumah.
Cicak-cicak itu menaruh rasa hormat terhadap tuan rumah, yang tak sekalipun pernah mengusir kehadiran mereka di kamarnya. Apalagi, ibu tua itu pengertian. Belum pernah menjumpai, ia menggunakan obat nyamuk semprot ataupun bakar. Ia cukup mengoles krim anti nyamuk. Nyamuk-nyamuk jadi enggan menghisap darah. Mereka mengudara mendekat lampu. Menjadi incaran para cicak, bertarung untuk asupan gizi. "Kami tak ubahnya seperti cucu-cucunya," kata seekor cicak pada teman-temannya, pada suatu ketika. Dan mereka sepakat akan hal itu. Maka setiap perempuan itu bicara, mereka menyimak. Laksana cucu mendengar neneknya bicara.
Sejenak Aiman menatap cicak-cicak yang terpaku. Ia tersenyum. Di tepi dipan yang didudukinya, ia meletakkan sajadah yang telah kembali dilipat.
“Terus, kemarin ibu milih siapa?”
“Ya, pilih nomor satu itu. Sudah dikasih sajadah, kan nggak enak. Banyak yang bilang, suaranya dapat banyak. Dia yang menang.”
Undangan itu datang dari sebuah keluarga besar di kampung, yang satu kerabat meraka menjadi calon wakil bupati. Seorang perempuan. Bapaknya pernah menjabat Bupati dua periode berurutan semenjak awal sistem pilkada langsung.
“Kamu bawa sajadah itu ke Jakarta, Aiman,” berkata ibu itu. “Untuk keperluanmu sholat. Itu sajadah bagus. Lihat saja warnanya. Kainnya juga halus, lembut.”
Aiman menghela nafas. “Untuk keperluan ibu saja di sini. Jika belum mau dipakai, disimpan saja dulu.”
Wajah perempuan tua itu menjadi datar. Kemudian beranjak keluar kamar. Aiman menyentuh sajadah itu lagi. Ia berdiri. Melangkah ke arah pintu dan berhenti di ruang tengah. Televisi tengah menyala tanpa pemirsa. Ia duduk, mengambil remote control dan menekan tombol off. Ia rindu dengan malam yang sepi. Malam suasana kampung yang pernah ia nikmati semasa kecil. Damai.
Dari ruang belakang, dengan membawa segelas besar teh hangat, perempuan itu menghampiri tempat duduk menemani anaknya. Ia membuka tutup gelas. Uapnya terlihat membumbung, memberi sedikit kehangatan pada malam yang tengah dijatuhi hujan.
“Aiman. Kenapa ibu ingin kamu membawa sajadah itu.” Ia membuka percakapan lagi. Ditatap wajah anak bungsunya dengan mata teduh, sedikit syahdu.
“Itu semata karena ibu punya harapan, siapa tahu kelak dari rumah ini... Dari kampung ini pula, ada yang jadi bupati. Wakil bupati juga nggak apa-apa.”
Aiman terkesiap. Tak menduga ibunya berpikir sesuatu yang ia sendiri tidak memikirkannya.
“Tapi kenapa harus dengan sajadah itu, Ibu?”
“Ya, siapa tahu, Aiman!” ujarnya. “Siapa tahu nasibmu sama seperti yang memberi sajadah itu.”
Aiman dibuat terdiam. Tak sedikit pun bermimpi menjadi politikus. Pemimpin daerah. Menjadi bupati. Atau wakilnya.
Ditenangkanlah rongga dadanya. Dipandangi dengan rasa hormat sosok ibunya. Ia pun mencoba untuk mengerti. Perempuan yang dihadapannya itu punya hak mengungkap yang ada dibenaknya. Kesahajaannya, ternyata menyimpan kebesaran harapan-harapan.
Sewaktu kelas tiga SMA, ia sama sekali belum memikirkan kelanjutan andai nanti lulus. Tapi ibunya mendesak,”Mulai sekarang pikirkan Aiman, kamu mau kuliah di mana.”
Belum ada jawaban. Pikirannya masih belum terisi. Berulangkali, ibunya mengingatkannya: apakah sudah ada pilihan fakultas, universitas. “Jangan pikir biaya. Itu nanti saja. Siapa tahu keberuntungan ada padamu, Aiman.”
"Saya ingin bekerja saja. Bukankah itu baik?"
"Bukan begitu. Bekerja memang baik. Tapi memanfaatkan prestasi sekolahmu untuk kuliah, kenapa tidak dicoba?"
Aiman bimbang. Ia tahu berapa uang pensiunan bagi seorang janda seperti ibunya. Kuliah, dalam pikirannya akan menjadi beban tersendiri. Tapi ia menurut, setelah sepupunya yang anak kuliahan tingkat akhir, atas suruhan ibunya, memberikan formulir pendaftaran UMPTN.
"Nah, sekarang kamu isi. Nanti kita bersama menyerahkannya,"Kata lelaki sepupu Aiman.
Aiman agak tersudut. "Sudahlah Aiman. Diisi saja dulu. Jangan seperti orang bingung begitu," Ibunya berucap. Membujuk.
Keberuntungan. Ia mengingat kembali satu masa. Ada tiga: Jurusan Akuntansi, Gajah Mada, beasiswa: ia mengenang keberuntungan masa kuliahnya yang ia tempuh tak sampai lima tahun itu. Dan ia baru menyadari kemudian, kenapa ibunya selalu mengingatkan, bahkan lebih terasa mendesak untuk menentukan pilihan. “Ibu ingin kamu kuliah. Dari rumah ini harus ada yang kuliah.”
Wajah Aiman terasa kaku. Tarikan nafas menjadi pendek. Menjadi bupati? Atau…wakil bupati? Ah, apakah harapan ibu kelak akan menjadi kenyataan lagi. Ia gundah, bertanya dalam hati.
“Bukankah ibu sering menyimak berita. Tentang pejabat yang diadili karena korupsi?”
Kali ini, sang ibu yang menghela nafas. Agak panjang. Ia memegang gagang gelas, mengangkat dan menyeruput teh hangat. Uap panasnya sudah melemah. Tapi ia tetap meniup permukaan air minum itu.
“Aiman. Ingatkah kamu, dulu. Apakah sewaktu mau menikah, kamu memikirkan perceraian.”
Lelaki ini terdiam. Ia mencoba memaknai perkataan ibunya: risiko. Setiap keputusan punya konsekuensi sendiri. Semua tinggal memilih. Seperti satu ujung pensil yang diangkat, maka ujung lainnya mengikuti. Itu metafora yang dia peroleh dari sebuah buku kepemimpinan.
Akhirnya. “Untuk ibu. Besok akan saya bawa sajadah itu.”
***
Rintik hujan menemani suasana siang yang agak gelap. Gelegar halilintar seakan memberi kemeriahan menyambut sore datang. Kilatnya sesekali membuat penghuni rumah membungkam kedua telinga dengan telapak tangan. Aiman duduk sambil minum kopi tubruk untuk menjaga matanya dari godaan kantuk diperjalanan. Hari ini ia hendak pulang ke Jakarta bersama seorang kerabatnya.
“Ibu nggak ingin sekalian berangkat ke Jakarta?” tanyanya.
Perempuan tua yang tengah duduk tak jauh darinya mengarahkan mata ke anaknya. “Nggak Aiman, sekarang ibu lebih senang di rumah saja.”
Sejenak sunyi.
“Kamu tahu mBah Rubini?” Dan Aiman mengangguk. “Dia, bulan kemarin ke Jakarta bareng anaknya berkereta. Satu minggu kemudian, ia pulang, tapi naik ambulan.”
“Kayaknya, naik ambulan itu nggak enak ya, Aiman.”
Aiman hanya menyunggingkan senyum mendengar perkataan itu.
Selepas pukul tiga sore mobil keluar dari halaman rumah berangkat ke Jakarta. Ibu melambaikan tangan, kemudian masuk rumah setelah mobil anaknya hilang dari jangkauan tatapan matanya.
Dua puluh menit sudah perjalanan. Mendadak Aiman meminggirkan mobil. Berhenti.
“Ada yang ketinggalan!”
“Apa?” tanya lelaki yang di sampingnya.
“Sajadah. Ibu meminta satu sajadahnya di bawa!”
“Telpon saja Mbak Juni, biar dipaketkan”
“Tidak.” Ia melihat kaca spion sambil memutar kemudi ke arah kanan. “Saya ambil saja. Akan beda rasa di hati Ibu kalau langsung saya bawa sekarang.”
Ia sudah memutuskan untuk tidak terbebani dengan harapan ibunya. Yang sempat membuat wajahnya pias: gabungan terkejut, takjub dan takut. Ia memilih membuat ibunya senang. Maka ia mau membawa sajadah itu ke Jakarta. Itu saja.
Ia masih ingat, sajadah coklat tua itu ada di atas tempat tidur ibunya. Ia lalai mengambilnya. Saat berkemas-kemas tadi, ia teralihkan oleh dering telepon genggam. Istrinya bertanya: jam berapa mau pulang ke Jakarta. Kemudian, dengan anak-anaknya bicara agak lama.
Mobil melaju berbalik arah dengan kecepatan yang sedikit dilebihkan agar cepat sampai. Kini, kendaraan berbelok ke kanan, pada tikungan terakhir menuju 200 meter ke rumah yang baru beberapa waktu ditinggalkannya. Dalam beberapa menit, mobil sudah menepi. Persis di sebelah utara pintu masuk halaman rumah.
Banyak orang sudah di sana. Di dalam rumah itu. Berbeda saat ia tadi berpamitan. Hanya ibu dan kakak perempuannya yang ada. Sebagaian dari mereka mengarahkan pandangan pada mobil Avanza silver yang baru berhenti.
Aiman memburu ke dalam dengan hati penuh tanya dan jantung berdegup kencang. Dilihatnya, kakak perempuannya tengah menangis. Beberapa yang lain pun begitu.
“Ada apa ini?”
"Ibumu ....," Seseorang menjawab. Tapi tak menyelesaikan kalimatnya.
“Ibumu baru saja meninggal, Aiman.” Kata seseorang berkebaya hitam, berkain jarik sidomukti agak kusam. Ia mengusap-usap punggung Aiman.
Lelaki itu memburu ke kamar. Ditataplah ibunya kembali. Perempuan tua yang sudah berbunga-bunga ditengoknya itu telah terbujur kaku. Ia dikelilingi sanak dan tetangga.
“Ibumu meninggal sewaktu sholat ashar. Baru saja. Ia tengkurep di sajadah itu,” jelas Bu Lik Tugini, adik ibu Aiman sambil mengarahkankan wajah bermata sembab ke arah keponakannya.
Aiman menatap sajadah coklat tua yang masih tergelar di lantai. Tergeletak pada celah selebar satu meter di antara tembok dan dipan, tempat tidur ibunya. Mata lelaki berusia kepala empat itu berkaca-kaca. Tangisnya dicoba dibendung. Ia masih menatap sajadah yang tak terusik dengan kematian ibunya. Sajadah yang hendak dibawanya ke Jakarta.
“Tuhan. Ternyata Engkau punya rencana indah terhadap ibu saya di atas sajadah itu." Ia membatin sembari mengusap air mata.
______Bumi Cahyana, 21 Desember 2015
*) Sebuah cerpen untuk peringatan Hari Ibu, 22 Desember 2015.
Sumber: bonekaindonesia.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H