“Kamu tahu mBah Rubini?” Dan Aiman mengangguk. “Dia, bulan kemarin ke Jakarta bareng anaknya berkereta. Satu minggu kemudian, ia pulang, tapi naik ambulan.”
“Kayaknya, naik ambulan itu nggak enak ya, Aiman.”
Aiman hanya menyunggingkan senyum mendengar perkataan itu.
Selepas pukul tiga sore mobil keluar dari halaman rumah berangkat ke Jakarta. Ibu melambaikan tangan, kemudian masuk rumah setelah mobil anaknya hilang dari jangkauan tatapan matanya.
Dua puluh menit sudah perjalanan. Mendadak Aiman meminggirkan mobil. Berhenti.
“Ada yang ketinggalan!”
“Apa?” tanya lelaki yang di sampingnya.
“Sajadah. Ibu meminta satu sajadahnya di bawa!”
“Telpon saja Mbak Juni, biar dipaketkan”
“Tidak.” Ia melihat kaca spion sambil memutar kemudi ke arah kanan. “Saya ambil saja. Akan beda rasa di hati Ibu kalau langsung saya bawa sekarang.”
Ia sudah memutuskan untuk tidak terbebani dengan harapan ibunya. Yang sempat membuat wajahnya pias: gabungan terkejut, takjub dan takut. Ia memilih membuat ibunya senang. Maka ia mau membawa sajadah itu ke Jakarta. Itu saja.