Tidak juga aku tahu, kapan oplet itu mulai ada. Karena yang aku tahu, oplet itu sudah menyisir jalan raya di desaku saat aku kecil. Ia sudah menjadi alat transportasi andalan bagi kami orang desa. Tidak saja karena sebuah barang baru yang agak “wah” kala itu, tapi orang-orang sudah merasa diuntungkan dengan kehadirannya.
Aku melihat dan merasakan oplet semenjak Taman Kanak-kanak. Satu-satunya oplet yang melintas di jalan raya, yang dengan gagahnya sering meminggirkan penunggang sepeda onthel karena takut keserempet. Maklum, jalan aspal masih sempit.
Klakson berada di luar dekat pintu kemudi. Agar bunyi, tangan supir memencet bulatan pada bagian belakangnya. “Tot….tot…tot.” Mengagetkan para pengguna jalan. Tapi sesudahnya, mereka tersenyum dan tertawa.
Orang-orang mengenal oplet itu dengan sebutan si Kakek Muda. Jika mendengar kalimat,”Menunggu Kakek Muda!” Berarti orang yang berkata itu tengah menunggu si oplet itu. Ia akan bepergian jauh.
Mereka rela berdesakkan di dalam. Ada yang berdiri di bagian belakang mobil, yang pintunya tak lagi terpasang. Mereka, kebanyakan kaum lelaki. Berpegang pada sebilah besi bulat panjang yang menempel kuat pada bagian atas, yang memang disiapkan untuk itu. Mereka seakan menemani sang kondektur, yang teriakan kerasnya memanggil penumpang seperti suara speaker masjid.
Bukan saja begitu. Duduk di atap mobil pun dilakoni dengan riang hati. Semua demi menikmati perubahan jaman. Era jalan kaki jarak jauh mesti disudahi. Varises pada betis-betis mereka harus dihindari. Dan untuk bersepeda, cukuplah sebatas yang mereka mampu saja.
Kakek Muda adalah nama yang disematkan pada oplet itu. Tertulis putih pada sisi kanan dan kiri body mobil yang bercat biru tua itu. Bentuk tulisan menyerupai monotipe corsiva. Orang dulu suka yang seperti itu. Suka dengan betuk tulisan yang miring.
Mbah Wiryo, pengemudi yang sekaligus pemiliknya berkata, nama itu sengaja dipilih untuk mengenang satu momen penting dirinya. Ceritanya, sewaktu punya cucu pertama dari anak perempuan pertamanya, ia masih merasa muda. Masih merasa belum pantas disebut kakek. Usianya belum sampai lima puluh tahun. Tapi ia terpaksa mau. Apa boleh buat, karena pada kenyataan jabang bayi itu lahir. Maka status kakek baginya tak mungkin terhindarkan.
Melalui suatu perenungan, ia pilih “Kakek Muda” untuk menamai opletnya yang masih polos tanpa tulisan. Itu terjadi selang satu hari setelah pemberian nama cucu pertamanya itu.
Oplet merupakan mobil sedan Eropa yang sudah dimodifikasi. Dibuat oleh perusahaan Otomotif Morris di Inggris. Namun, semenjak orde baru membuka kran bagi masuknya mobil-mobil Jepang, nasib oplet mulai tersisihkan. Ia termarginalisasi oleh pesona kendaraan negeri matahari terbit, yang konon harganya lebih murah.
Sejurus dengan itu, sekian mobil Jepang sudah menghiasai jalan raya antar desa antar kecamatan. Kakek Muda tidak sesibuk dulu lagi. Faktor usia tak dapat ditahan, ia mulai sering mogok di jalan. Jika ini terjadi, tak ayal penumpang harus keluar. Duduk dipinggiran jalan hingga mesin oplet itu bisa dihidupkan kembali. Dan perjalanan dilanjutkan. Alhasil, kalau lama tak hidup juga mesin itu, penumpang terpaksa pindah ke mobil Jepang: Colt, Tipe baru produk Mitshubishi. Dan, sang supir oplet merasa terlecehkan dengan pemandangan sedemikian itu.
“Habis manis sepah dibuang,” ucapnya getir.
Makin lama, Kakek Muda benar-benar tergencet oleh perubahan Jaman. Kendaraaan Jepang membuatnya terpelintir dan keluar dari percaturan transportasi untuk manusia. Ia menyendiri di tepian jalan merenungi nasibnya yang mulai redup.
Tetapi, asap dapur bagi rumah Mbah Wiryo, sang pemilik oplet harus tetap hangat dan berasap. Sebagai pertanda bahwa pemasukan masih ada. Dapur harus ngebul, pikirnya. Atau setidaknya masih ada kebutuhan yang bisa dipenuhi sehari-harinya.
Kakek Muda, yang kini supirnya sudah tidak muda lagi itu benar-benar membanting setir. Ia mengaku kalah bersaing. Lelaki tua ini ambil haluan, cari obyekan baru: mengangkut pasir dan batu kali yang oleh para penambang biasa digunungkan di pinggir jalan. Bata merah yang tertata di tobong pembakarannya pun ia datangi. Pokoknya, siap angkut.
Era baru sudah dibuka. Pasir, batu kali dan bata merah sudah dapat menikmati sisa kejantanan kendaraan Eropa yang sudah sepuh itu. Para penambang sudah merasakan manfaat. Seperangkat alat pemikul dipakai seperlunya, untuk jarak dekat saja. Mengantar pasir dan batu kali lebih mudah dan cepat dengan oplet. Mau ke desa sebelah mana, asal ada jalan yang memadai, mereka sanggup.
Mbah Wiryo kembali bisa tersenyum. Ia kini menjadi raja di kelas angkutan bahan bangunan. Lelaki ini sudah tak risau dengan mobil-mobil Jepang, yang dengan klakson elektrik,” Tin…Tin…Tin…” memberi aba mendahuluinya. Ia sumeleh, berbesar hati. “Mangga, silakan kalau mau mendahului.” Setir oplet digerakan perlahan ke arah kiri, memberi ruang lebih lebar bagi kendaraan yang dibelakangnya.
“Ngati-ati, ngebut bisa benjut!” selorohnya.
Tetapi perubahan trayek memicu pertengkaran. Pemilik gerobag sapi merasa terancam dengan sepak terjang Kakek Muda. Filosofi gerobag sapi yang “alon-alon sing penting slamet” sedikit demi sedikit mulai terlindas. Pangsa pasar angkutan bahan bangunan mengalami penyempitan. Panggilan sepi. Pemilik gerobag gelisah, sebagaimana pemilik oplet itu saat mulai tersingkir setelah hadirnya mobil Jepang. Tapi bagi dua ekor sapi penarik gerobag, keadaan ini menyenangkan. Mereka jadi lebih banyak makan daripada kerja.
“Pak Wiryo. Nuwunsewu. Jangan mentang-mentang punya oplet, terus Sampean seenaknya begini. Saya sudah lebih dulu angkut-angkut seperti ini. Sekarang sampean ikut nimbrung. Nanti saya kebagian apa!” kata pemilik gerobag dengan berkacak pinggang.
“Ya nggak tahu. Saya kan cuma nyari duit. Memang cuma sampean yang butuh duit.”
“Tapi penghasilan saya jadi berkurang!”
“Masa bodoh. Saya nggak mau tahu urusan Sampean!”
Keduanya semangat beradu mulut, tapi tak ada penyelesaian damai. Pemilik gerobag akhirnya pergi dengan wajah memerah. Ia lecutkan pecutnya ke udara, melepas kejengkelan.
***
Di sebuah tikungan yang agak tajam dan menurun, oplet itu diarahkan ke kiri dengan kecepatan yang sudah berkurang. Tapi dari arah depan, sebuah mobil angkutan tiba-tiba muncul dengan begitu cepat. Pak Wiryo terkesiap. Matanya melotot nyaris keluar. Dengan naluri yang tajam sebagai supir dengan jam terbang tinggi, ia memutar setirnya lebih dalam ke kiri. Ia tak mau bertabrakan antar mobil. Risiko jauh lebih besar.
Oh, oplet itu kemudian terperosok ke pinggir jalan yang dalam. Beruntung, sebuah pohon mahoni memagari oplet itu hingga terhenti. Bamber rusak parah. Kap mesin terbuka karena efek benturan yang kuat. Dan, as roda kiri patah.
“Kamu harus bertanggungjawab atas kejadian ini. Bapak minta ganti rugi!” Mbah Wiryo, pemilik oplet itu mendatangi rumah Martono, menantunya.
Martono belum lama membeli mobil Jepang: Toyota Hiace warna hijau. Kendaraan yang ukurannya lebih luas ketimbang Colt Mitsubishi. Ia terpikat dengan iklan yang tersaji di TVRI waktu itu. Pesona Mohamad Ali sebagai juara tinju kelas berat dunia, yang dijadikan bintang iklan mobil itu, telah mengetar-getarkan matanya. Hingga munculah keinginan memiliki mobil itu untuk angkutan pedesaan.
“Maaf Pak. Kan tidak terjadi benturan. Jadi mobil saya tidak bisa dipersalahkan begitu saja.”
“Tapi kan ini karena mobilmu. Sopir mobilmu yang sontoloyo. Bikin kaget. Coba kalau Bapak nekad nabrak mobilmu, apa yang terjadi!” ketus sang mertua.
Martono agak jengkel. “ Mungkin Bapak malah langsung meninggal!” Ia membatin saja.
“Mobil itu punya jasa besar. Menghidupi keluarga. Menyekolahkan istrimu. Dulu. Kamu harus paham itu!” kilah Pak mertua.
“Nuwunsewu Pak. Mobil saya juga untuk menghidupi keluarga. Menafkahi anak dan cucu Bapak.”
“Sompret … kamu ini masih muda Martono. Dikasih tahu, malah kasih tahu!”
Sehari oplet itu dibiarkan tergeletak. Sekali waktu orang yang melintas mendekat, melihat gerangan yang ada.
Setelah batu-batu kali dikeluarkan dari dalam oplet, kendaraan itu ditarik tali besar yang terikat pada tempat pengikat tali pada bagian belakang mobil Martono. Bukan perkara gampang. Lima orang yang ada, sekuat tenaga mengarahkan mobil agar sampai ke jalan raya.
Oplet sudah ada di rumah pemiliknya. Teronggok dalam sebuah garasi yang ala kadarnya. Bertahun-tahun kendaran itu dibiarkan begitu saja. Pada usia senjanya, sang pemilik sering memandangi dengan kedalaman hati terhadap mobil tua itu. Ia merasakan kepiluan. Tapi ia pun bisa berubah ceria dengan perjalanan hidupnya bersama oplet itu.
Sampai akhirnya, lelaki senja itu meninggal. Oplet itu tetap setia ditempat terakhirnya. Tak satu penghuni pun yang peduli. Sekadar menyentuh pun jarang terlihat. Hanya kucing-kucing yang kerap bermain, bercinta dan bermesraan. Kemudian, beranak pinak di dalamnya.
Oplet itu telah khatam menunaikan tugasnya. Ia iklas digulung waktu dan digilas kemajuan jaman. Warna birunya memudar dan mengelupas. Korosif berat telah memperburuk keadaannya, mengikis cerita kekokohan mobil-mobil Eropa.
Ia tersisih. Sendiri dalam sunyi, dalam garasi yang atapnya bocor sewaktu hujan. Pagar garasi yang tak pantas dipandang mata makin memperdalam deritanya. Tapi oplet itu memilih membisu. Rintihan menjadi sesuatu yang tak perlu diperdendangkan.
Setelah aku pulang dari sekolah di kota, oplet itu hendak dibesituakan. Dan orang-orang tua di desa kemudian terjaga. Mereka baru sadar akan hilangnya teman sejarah dalam hidupnya. Dan, satu demi satu mereka membangun kembali cerita, tentang semua kenangan pahit dan manis menikmati perjalanan bersama si Kakek Muda: oplet tua Mbah Wiryo itu.
_____ S-Pras, Bumi Cahyana, 8 Desember 2015
Gambar: kotakgame.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H