“Nuwunsewu Pak. Mobil saya juga untuk menghidupi keluarga. Menafkahi anak dan cucu Bapak.”
“Sompret … kamu ini masih muda Martono. Dikasih tahu, malah kasih tahu!”
Sehari oplet itu dibiarkan tergeletak. Sekali waktu orang yang melintas mendekat, melihat gerangan yang ada.
Setelah batu-batu kali dikeluarkan dari dalam oplet, kendaraan itu ditarik tali besar yang terikat pada tempat pengikat tali pada bagian belakang mobil Martono. Bukan perkara gampang. Lima orang yang ada, sekuat tenaga mengarahkan mobil agar sampai ke jalan raya.
Oplet sudah ada di rumah pemiliknya. Teronggok dalam sebuah garasi yang ala kadarnya. Bertahun-tahun kendaran itu dibiarkan begitu saja. Pada usia senjanya, sang pemilik sering memandangi dengan kedalaman hati terhadap mobil tua itu. Ia merasakan kepiluan. Tapi ia pun bisa berubah ceria dengan perjalanan hidupnya bersama oplet itu.
Sampai akhirnya, lelaki senja itu meninggal. Oplet itu tetap setia ditempat terakhirnya. Tak satu penghuni pun yang peduli. Sekadar menyentuh pun jarang terlihat. Hanya kucing-kucing yang kerap bermain, bercinta dan bermesraan. Kemudian, beranak pinak di dalamnya.
Oplet itu telah khatam menunaikan tugasnya. Ia iklas digulung waktu dan digilas kemajuan jaman. Warna birunya memudar dan mengelupas. Korosif berat telah memperburuk keadaannya, mengikis cerita kekokohan mobil-mobil Eropa.
Ia tersisih. Sendiri dalam sunyi, dalam garasi yang atapnya bocor sewaktu hujan. Pagar garasi yang tak pantas dipandang mata makin memperdalam deritanya. Tapi oplet itu memilih membisu. Rintihan menjadi sesuatu yang tak perlu diperdendangkan.
Setelah aku pulang dari sekolah di kota, oplet itu hendak dibesituakan. Dan orang-orang tua di desa kemudian terjaga. Mereka baru sadar akan hilangnya teman sejarah dalam hidupnya. Dan, satu demi satu mereka membangun kembali cerita, tentang semua kenangan pahit dan manis menikmati perjalanan bersama si Kakek Muda: oplet tua Mbah Wiryo itu.
_____ S-Pras, Bumi Cahyana, 8 Desember 2015