“Masa bodoh. Saya nggak mau tahu urusan Sampean!”
Keduanya semangat beradu mulut, tapi tak ada penyelesaian damai. Pemilik gerobag akhirnya pergi dengan wajah memerah. Ia lecutkan pecutnya ke udara, melepas kejengkelan.
***
Di sebuah tikungan yang agak tajam dan menurun, oplet itu diarahkan ke kiri dengan kecepatan yang sudah berkurang. Tapi dari arah depan, sebuah mobil angkutan tiba-tiba muncul dengan begitu cepat. Pak Wiryo terkesiap. Matanya melotot nyaris keluar. Dengan naluri yang tajam sebagai supir dengan jam terbang tinggi, ia memutar setirnya lebih dalam ke kiri. Ia tak mau bertabrakan antar mobil. Risiko jauh lebih besar.
Oh, oplet itu kemudian terperosok ke pinggir jalan yang dalam. Beruntung, sebuah pohon mahoni memagari oplet itu hingga terhenti. Bamber rusak parah. Kap mesin terbuka karena efek benturan yang kuat. Dan, as roda kiri patah.
“Kamu harus bertanggungjawab atas kejadian ini. Bapak minta ganti rugi!” Mbah Wiryo, pemilik oplet itu mendatangi rumah Martono, menantunya.
Martono belum lama membeli mobil Jepang: Toyota Hiace warna hijau. Kendaraan yang ukurannya lebih luas ketimbang Colt Mitsubishi. Ia terpikat dengan iklan yang tersaji di TVRI waktu itu. Pesona Mohamad Ali sebagai juara tinju kelas berat dunia, yang dijadikan bintang iklan mobil itu, telah mengetar-getarkan matanya. Hingga munculah keinginan memiliki mobil itu untuk angkutan pedesaan.
“Maaf Pak. Kan tidak terjadi benturan. Jadi mobil saya tidak bisa dipersalahkan begitu saja.”
“Tapi kan ini karena mobilmu. Sopir mobilmu yang sontoloyo. Bikin kaget. Coba kalau Bapak nekad nabrak mobilmu, apa yang terjadi!” ketus sang mertua.
Martono agak jengkel. “ Mungkin Bapak malah langsung meninggal!” Ia membatin saja.
“Mobil itu punya jasa besar. Menghidupi keluarga. Menyekolahkan istrimu. Dulu. Kamu harus paham itu!” kilah Pak mertua.