Mohon tunggu...
Sarwo Prasojo
Sarwo Prasojo Mohon Tunggu... Angin-anginan -

Suka motret, tulas-tulis dan ini itu. Dan yang pasti suka Raisa

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Aduh Pak RT

4 Oktober 2015   22:15 Diperbarui: 5 Oktober 2015   13:16 674
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bukan anak-anak yang bikin onar. Bukan pemuda bengal yang bikin lingkungan jadi keruh. Bukan pula percecokan suami istri yang menjadi buah bibir warga RT. Tapi ini justru Pak RT sendiri.
Ada apa dengan Pak RT?
Hah! warga terbelalak setelah mendengar cerita dari mulut ke mulut
“Yang Benar?”
“Suwer, Bro”
Berkumpulan beberapa orang di sebuah tikungan, yang tepinya terdapat tempat duduk dari cor beton.
“Sebaiknya kita ambil tindakan tegas terhadap Pak RT. Dia sudah tidak layak lagi jadi pemimpin kita” berkata seseorang .
“Pemimpin harus punya moral yang baik. Pak RT sudah mempermalukan dirinya dan juga kita sebagai warganya.” Yang lain menimpali dengan suara mantap dan meyakinkan.
Satu lagi manggut-manggut. “Ya ,itu semua tergantung warganya, mau mempertahankan dia atau nggak.”

***

Semalam Pak RT kepergok seorang warganya. Ia tengah sendirian. Suasana rumahnya lengang. Konon istri dan anaknya sedang bepergian ke ibu kota. Kaca jendela ruang tengah sengaja tidak ditutup gorden. Suara dari speaker televisi terdengar kencang. Seorang pemuda tanggung yang hendak mengurus Surat Kelakuan Baik terpana saat ia berada di samping rumahnya. Ia bimbang. Maju atau mundur ketemu Pak RT. Akhirnya ia nekad. Sudah kepalang tanggung.

“Permisi Pak RT, maaf menganggu santai Bapak” ucapnya setelah mengetuk pintu. Dibukalah pintu itu oleh tuan rumah.
“Sudah tahu menganggu, kamu masih maju juga. Malam-malam begini waktunya istirahat, kamu malah mau ngurusi surat”

Pak RT melihat jam dinding. Pukul 22.14. Ia menggelengkan kepala. “ Demi warga” batinnya.
“Perlu sekali Pak, besok harus sudah kelar. Mau buat lamaran kerja di Semarang”
Pemuda itu lantas duduk sambil menonton hiburan khusus punya Pak RT. Dan, Tuan rumah dengan santainya menulis berkas yang dibutuhkan anak muda itu.

“Asia Carrera ya Pak RT?”
“Kok kamu tahu?”
“Itu kan artis favorit saya. Kita sepertinya punya kesamaan”
Pak RT tidak menyahut. Ia hanya berfokus agar urusannya selesai, dan tamu tadi segera pulang.
“Sudah, sekarang kamu balik ke rumah. Saya yakin, kamu akan dapat surat kelakuan baik dari kepolisian” ujar Pak RT.

Sembari melangkah pulang ke rumah, pemuda itu berpapasan dengan warga lainnya, yang tengah bermain gitar. Berceritalah ia kepadanya.
“Masa sih. Gawat. Ini racun bagi kita semua, jangan dibiarkan!” kata orang itu.

Bergegas ia mengumpulkan warga untuk menjadi saksi atas tindakan Pak RT. Lebih dari sepuluh orang yang bisa diajak kerja sama. Bersama pemuda tadi, mereka secara pelan-pelan mengendap-endap menuju samping rumah Pak RT. Gordennya masih terbuka. Suara televisinya masih kencang. Bahkan terasa tambah kencang, karena malam makin larut.
Dari layar LED 29 inci, para mata-mata itu mengintai. Menahan nafas. Jatungnya berdegup keras. Sesekali menelan air liur yang lama tertahan. “Aduh Pak RT” Seseorang bersuara lirih, kemudian menarik nafas.
“Tak kukira”
“Tak kusangka”
“Tak Kuduga
Masing-masing bergumam seperti menyuarakan syair lagu Ruth Sahanaya. Matanya tak berkedip menatap hiburan Pak RT, walau dari balik kaca rumahnya. Terlihat, kaki Pak RT selonjor pada kursi yang ditaruh didepannya, hanya sebatas mata kali dan telapaknya yang tampak tak tertutup sarung.

“Oh....”
Dan suara itu terdengar dari dalam ruangan. Pasti dari televisi itu.
Mereka sepakat memberi kesaksian terhadap aktivitas Pak RT malam itu. Dan berencana mengumpulkan para warga, besok, untuk membahas kenyataan yang mengejutkan ini.

***
Warga mendesak agar dibentuk Majelis Kehormatan RT. Semua sepakat. Lima orang terpilih: Pak Lurah, Pak RW, Warga Tertua, Wakil remaja dan Komandan Hansip. Mereka mendapat mandat untuk menyidangkan kasus Pak RT secara terbuka, dihadapan warga.

“Saya siap mempertanggungjawabkan perbuatan saya. Apapun risikonya” Tegas Pak RT, setelah menerima surat pemanggilan yang diserahkan oleh Pak RW, selaku sekretaris majelis kehormatan.

Bertempat di Aula Balai desa, sekitar pukul sepuluh pagi, sidang Majelis Kehormatan dimulai. Sebagian besar warga datang memadati ruangan yang berkapasitas tempat duduk terbatas. Sebagian ada yang berdiri.

“Saudara Ketua RT, apakah benar Saudara melakkan tindakan sebagaimana yang dilaporkan oleh para saksi pelapor?” tanya Pak Lurah, Ketua Majelis Kehormatan.
“Benar, Pak Ketua Majelis”
“Apakah Saudara sadar dengan tindakan itu?”
“Sadar Pak Ketua. Seribu persen, saya sadar”
“Mohon Saudara jangan bergurau. Dalam matematika tidak ada 1000 %. Cuma dikenal 100 %, paham?”
“Paham Pak Ketua. Maaf, saya meniru Pak Presiden yang dulu”

Hadirin terbahak-bahak. Ketua Majelis kehormatan mengetuk meja keras-keras dengan tangannya. “Mohon, hadirin tenang. Ini bukan hiburan akhir pekan. Sidang dilanjutkan!”

Masing-masing anggota Majelis Kehormatan memberi pertanyaan.
“Apakah Saudara memang perlu menonton film semacam itu?” bertanya Pak RW
“Sangat Perlu”

Kemudian hadirin melongo, bibirnya mengeluarkan suara,”O…..”

“Apakah Saudara menyadari, tindakan tersebut berakibat pada jabatan Anda selaku Ketua RT?” bertanya yang lain.
“Benar, saya menyadari risikonya”
“Apakah Menurut Saudara, tindakan menonton sejenis itu bisa mengganggu ketertiban umum?" Tanya komandan Hansip.
“Tidak tahu, saya belum mendapat laporan faktualnya”

Setalah melalui serangkaian tanya jawab yang panjang dan mengkonfrontir dengan para saksi, akhirnya Majelis Kehormatan RT memutuskan: Menetapkan, Menghentikan dengan tidak hormat Ketua RT dari jabatannya, mulai dari dibacakannya keputusan tersebut.

Hadirin bersorak sorai. Keputusan Majelis Kehormatan sesuai dengan yang mereka harapkan. Ketua RT pun menerima dengan lapang dada keputusan itu. Ia tersenyum lega. Seperti tidak ada perasaan bersalah.

***
Seminggu sudah jabatan Ketua RT tak disandangnya. Tapi para warga merasa heran dengan sikap mantan petinggi lingkungannya.

Pada suatu acara berkumpul dengan warga , dengan santai ia bercerita. Bahwa sekarang ia merasa damai, kembali menjadi orang normal. Ia menjawab pertanyaan seseorang,”Bagaimana perasaan Bapak setelah dipecat dari Ketua RT?”

“Saya ini sudah jenuh dengan jabatan itu. Sudah lima belas tahun sebagai Ketua RT. Tidak ada yang mau menggantikan. Semua menganggap saya ini orang yang paling pantas. Orang baik. Periode kemarin saya sudah terang-terangan menolak diajukan lagi. Tapi warga tetap bersikeras mendukung saya. Saya pasrah”

Beberapa orang yang disekitar Pak mantan RT mendengarkan dengan penuh empati.

“Maka jalan satu-satunya, saya melakukan tindakan yang secara sengaja, biar saya dicap sebagai orang yang tidak baik. Tidak pantas lagi jadi Ketua RT”
“Bukankah cara tersebut, tidak terhormat” tanya seseorang
“Ya, terserah yang menilai saya”

Bagi Pak mantan, tidak sepantasnya ia berlama-lama jadi Ketua RT, apalagi sampai lebih dari dua periode. Baginya, itu sangat menyinggung jabatan Presiden. Walaupun ia menyadari sepenuhnya, bahwa jabatan ketua RT itu jabatan paling sibuk di dunia. Dari urusan adminstrasi, Tujuhbelasan, tahlil, syukuran, bersih lingkungan, pertengkaran antar warga, hajatan dan tetek bengek lain, yang benar-benar menyita waktunya.

Kini ia tengah menunggu, siapa warga lain yang akan dipilih menjadi Ketua RT baru. Sampai sekarang, kelihatannya semua masih tiarap!

 

______Oenthoek Cacing-Bumi Cahyana, 04 Oktober 2015

 

Ilustrasi: wapikweb.org

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun