Satu per satu, mereka mengirim “telik sandi” untuk mengetahui rahasia dibalik ramainya para pembeli. Menyusup dalam antrian sambil tengok kanan, tengok kiri. Tanya sana, tanya sini.
Pak Satimin salah satu yang sangat penasaran. Keberadaan usahanya yang bertahun-tahun dirintis, mulai goyah. Pemilik warung gudeg tetangga kampung itu pernah mencoba mengamati tekstur dan rasa gudeg warung milik Jakuro.
“Biasa saja, sama dengan kita” Pak Satimin berujar. Istri dan juga para pekerjanya pun mengakui hal yang sama.
Lain halnya dengan Mbok Tarjiman. Janda tua dua anak ini malah berangkat sendiri ke warung Jakuro. Berdesakan, mengantri. Asal tahu saja, sehari-hari dia tak berkerudung. Sekarang, untuk kegiatan rahasianya ia sengaja memakainya. Sekedar menyamar. Bibirnya diolesi lipstik, jadi terlihat “manglingi”. Jarit yang biasa dikenakan diganti celana panjang. Pokoknya, tidak ada yang tahu, ia mbok Tarjiman.
Sampai pulang ke rumah, mbok Tarjiman masih belum memperoleh kesimpulan yang berarti. Sebagai pemilik warung gudeg berpuluh-puluh tahun, dia paham banget tentang bumbu dan cara mengolah buah nangka muda dan manggar kelapa menjadi makanan yang khas. Gudeg yang sudah dibeli dari warung Jakuro dicipi. Lidahnya mengecap-ecap beberapa kali. Ia menggelengkan kepala. Orang-orang yang ada dirumahnya disuruh membandingkan dengan gudeg bikinannya.
“Enak punya kita kan?”
Semua mengangguk. Sepakat. Gudeg Jakuro tidak bisa disebut istimewa. Tapi tetap menyimpan misteri bagi mereka yang memiliki jenis usaha yang sama.
Tapi ada juga yang sumeleh. Iklas menerima hal tersebut. “Wong itu rejekinya Jakuro, kenapa kita mesti repot-repot ngintip-ngintip warung orang.” Demikian prinsip Mbok Djuminah, pengusaha warung gudeg yang sudah punya cabang di tiga tempat.
Letak warung Jakuro bukan di pinggir jalan besar. Malahan lebih pantas disebut pelosok. Bentuk warungnya sederhana. Sebagian besar terbuat dari kayu dan bambu. Tetapi yang mengherankan, pembeli tak pernah sepi.
Mungkin, bagi yang belum pernah ke sana dan berniat mencoba, harus tanya dulu, berapa lama mengantrinya?
Oh. Mendengar itu saja orang langsung lunglai. Untuk beli dan makan sekelas gudeg, mereka rela menunggu sampai hampir satu jam. Apa jadinya kalau sudah menunggu, tapi habis!
***
Sejarahnya memang agak panjang. Jakuro merasakan kehidupan yang kekurangan. Pekerjaan sebagai kuli pasar tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan hidup berumah tangga. Usianya waktu itu masih dua puluh empat tahun. Beda empat tahun lebih tua ketimbang istrinya.
Sampai dua tahun usia pernikahannya mereka belum dikaruniai anak. Keadaan ekonominya masih kempis-kempis. Jakuro waktu itu sudah merasa tidak enak tinggal bersama mertua, maka ia membuat gubuk semampunya di sebuah pekarangan milik orang tuanya.
“Kang, bagaimana kalau kita jualan saja. Buka warung” istrinya menyampaikan pendapatnya
“Warung? Warung apa?”
“Ya, warung makanan. Aku kan bisa bikin gudeg. Makanya, aku inginnya punya usaha warung gudeg. Kita coba saja”
Tidak serta merta Jakuro mengiyakan keinginan sang istri. Beberapa hari ia mengendapkan hal tersebut. Sampai pada suatu saat ia sampaikan kepada istrinya.
“Ya, wis. Aku setuju sama niatmu. Nanti aku juga ikut bantu-bantu kamu”
Istrinya girang, senang tiada kepalang. Mulailah ia mempersiapkan segala sesuatunya, segera. Modal usaha ia pinjam dari saudaranya yang masih punya hati dengan keadaan pasangan muda itu.
Beberapa hari masih belum banyak yang beli. Memasuki bulan ketiga, pasangan muda itu merasakan sedikit putus asa. Penghasilan yang diperoleh belum sebanding dengan keringat yang bercucuran sedari pukul 03.00 dini hari, sampai selesainya jualan.
Pada malam hari, Jakuro berbisik pada istrinya. “Aku akan pergi ke sana beberapa hari saja. Besok Kamis legi, wetonku. Hari lahirku. Itu bagus untuk tirakat.”
Tirakatan sudah menjadi kebiasaan keluarga orang tuanya. Menjauhkan diri dari keramaian. Bersunyi-sunyi di tempat tertentu, yang dianggap keramat. Waktu kecil ia pernah sekali diajak Bapaknya ke sebuah tempat: Sendang semanggi. Saat itu, ia hendak mengikuti ujian kelulusan Sekolah Dasar.
Semenjak Jakuro tak tampak, Istrinya ditanya, kemana suaminya. “Kok nggak kelihatan?” Biasanya hanya jawaban pendek yang bisa keluar dari mulut perempuan itu. “Sedang pergi, ada urusan”
Seminggu, setelah kepulangan dari bertirakat, lambat laun keadaan mulai berubah. Pembeli sedikit demi sedikit bertambah. Keuntungan mulai dirasa. Tak berapa lama, modal diperbesar. Warung diperlebar. Untuk keperluan bahan olahan tidak perlu lagi tiap hari datang ke pasar. Cukup menunggu di rumah, sudah ada yang memasok. Nangka muda, manggar, gula jawa, kelapa dan bumbu-bumbu lainnya.
Mereka pun akhirnya bisa membesarkan rumah, menjadi lebih pantas sebagai hunian sepasang suami istri. Malahan, untuk urusan melayani pembeli di warung, sudah bisa mempekerjakan satu orang untuk membantu. Sepertinya, penghasilan mereka mulai memadai.
***
Suatu waktu, datanglah seorang perempuan muda. Janda tanpa anak. Usianya sepantaran dengan anak pertama Jakuro. Sedang Jakuro sudah sampai usia kepala lima. Setiap orang yang ditanya,”Kenal Pak Jakuro?” Mereka langsung menjawab,”Yang punya warung gudeg terkenal itu kan”
“Aku sudah dua tahun menjanda. Sudah ingin nikah lagi. Nggak enak sendirian begini, banyak omongan yang aneh-aneh. Tapi belum juga ketemu jodoh” Katanya kepada Bu Jakuro yang wajahnya seperti berminyak karena keringat.
Sarmikem, perempuan itu dari desa sebelah. Sudah lama kenal baik dengan keluarga Pak Jakuro. Agak jauh, lelaki itu mendengar percakapan kedua perempuan. Saat ada kesempatan, dia berkata,”Beneran, kamu kepengin kawin lagi Sarmi?”
“Tenan, Pak-ne. Bisa carikan laki-laki, duda nggak masalah” Sarmikem menjawab tanpa malu-malu.
Pak Jakuro mendekat ke kedua perempuan itu. “Sarmi, coba kamu duduk di sana.” Lelaki itu menunjuk sebuah batu yang ada di dekat pojok pawon.” Tidak bulat, tapi tidak juga pipih.
Ketiga pasang mata menatap arah pawon. Pawon yang terbuat dari tanah liat. Dibentuk sedemikian rupa sehingga bisa dijadikan tungku besar dengan dua lubang untuk keluarnya bara api. Konon, masak di pawon yang berbahan bakar kayu, menjadikan masakan terasa enak.
Duduklah Sarmikem beberapa lama di atas batu itu. Ia ikuti saja saran Pak Jakuro. Sampai akhirnya dia disuruh menyudahi. “Sudah cukup, Sarmi”
Tak sampai tiga minggu, Sarmikem mendatangi warung gudeg itu lagi. Bukan untuk membeli. Mewartakan, dirinya hendak dilamar seorang perjaka, pengusaha muda dari Jakarta. “Maturnuwun, terimakasih, sudah dibantu” demikian Sarmikem bertutur pada Pak Jakuro dan istrinya.
Setelah menikah beberapa lama, kehidupan Sarmikem berubah. Status sosial ekonominya naik. Kini tak lagi dipanggil Sarmi. Sarmikem. Tapi menjadi Bu Mike atau Tante Mike. Dipungut dari empat huruf tengah nama pemberian orang tuanya. Nama kas anak kampung : Sar-MIKE-m. Anak-anaknya pun memanggilnya: Mama Mike.
Pergaulannya pun luas seiring sebagai pendamping seorang pengusaha dengan segala relasinya.
Cas cis cus. Akhirnya berceritalah dalam berbagai kesempatan tentang awal pertemuannya dengan suaminya itu. Berkisahlah saat seret dapat jodoh. Ujungnya, batu di pojok pawon Pak Jakuro itulah yang mempercepat penemuan lelaki yang kini jadi pendamping hidupnya. Ujarnya, kepada siapapun yang bertanya. Terutama para perempuan.
Bisik-bisik mulai masuk ke telinga Tante Mike. Dari perempuan muda yang ingin segera menikah. Janda kesepian yang rindu pendamping. Sampai perempuan yang siap jadi istri kedua bagi seorang pejabat daerah yang sedang diincarnya.
Sarannya satu: datangi warung gudeg Pak Jakuro, duduklah di batu pojok pawon.
Satu persatu peminat itu berdatangan mencari peruntungan. Memperkenalkan diri. Mohon izin ke Pak Jakuro, menyampaikan keperluannya. Pada kemudian waktu, mereka datang lagi, menyampaikan kabar: Sudah ketemu jodoh.
Sekali waktu Bu Jakuro pun bertanya kepada mereka yang sudah bertemu jodoh. Apa yang dirasakan setelah duduk di atas batu pojok pawonnya? Kata mereka, dirinya merasa cantik dan semakin cantik. Maka mereka jadi mudah dipikat oleh lelaki yang bermata jeli.
Bukan main. Alangkah gembiranya Pak Jakuro dan istrinya bisa ikut memberi jalan pencarian pasangan hidup. Dari kesaksian orang-orang luar daerah itulah, warung gudeg Pak Jukoro makin ramai pengunjung. Sampai mulailah hadir sebuah sebutan: Warung Gudeg Podjok Pawon.
Entah bagaimana ceritanya, misteri pojok pawon itu menjadi buah bibir orang-orang luar daerah. Kekuatan getarannya mengusik para perempuan yang kebelet kawin. Mulailah, banyak mobil terparkir dekat warung. Pengunjung dari luar daerah punya urusan dengan pojok pawon di warung gudeg itu.
“Mau beli gudeg berapa bungkus?” sapa Pak Jakuro.
“Belinya nanti saja. Saya mau duduk di pojok pawon dulu” seorang perempuan tiga puluhan tahun menjawab. Ia mengaku, sudah malu disebut perawan tua.
Akhirnya, lambat laun, situasi warung ramai luar dalam. Di luar dapur maupun di dalam dapur, menunggu giliran duduk di pojok pawon. Setiap perempuan yang selesai duduk di batu itu, memberi tambahan uang dalam amplop pada saat pembayaran gudeg.
Awalnya, baik Pak Jakuro dan istrinya menolak. Tapi apa mau dikata, mereka memaksa. "Sudahlah, diterima saja." Kadang ditaruh begitu saja dan pergi. Akan tetapi, ada juga yang perempuan yang nyelonong keluar tanpa permisi dan tanpa berucap terima kasih. Hanya ikut memanfaatkan situasi ramai. Perempuan yang begini tentu tidak ketahuan hasilnya. Ketemu jodoh atau tidak, karena enggan memberi tahu.
***
Batu apakah itu? Pada masa tuanya, Pak Jakuro bercerita, tentang tirakat tiga hari tiga malam itu. Puluhan tahun yang lalu di pesisir pantai laut selatan. Tengah malam itu, ia mendapat wangsit. Nada suaranya lembut mengusik telinga.
“Jakuro, kamu ambil sebuah batu yang bercahaya putih. Bungkus dengan kain sarungmu. Letakkan pada pojok pawon, tempat yang biasa kamu dan istrimu memasak. Bersihkan selalu setiap pagi dan malam sebelum tidur”
Ia terjaga dari semedinya. Didapatinya batu itu tak jauh dari dia duduk bersila. Bergegas ia ambil.
Sebenarnya cukup berat membawa batu itu. Tapi ia masih muda, masih kuat waktu itu. Dipanggulnya batu yang terbungkus kain sarung. Hingga sampailah di rumah.
Pak Jakuro meyakini, batu itu punya kekuatan sendiri. Pasti ada kisah tersembunyi. Dan yang diyakininya, batu itu pernah diduduki Nyi Roro Kidul.
_____Oenthoek Cacing-Bumi Cahyana, 19 september 2015
ilustrasi: kfk.kompas.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H