Istrinya girang, senang tiada kepalang. Mulailah ia mempersiapkan segala sesuatunya, segera. Modal usaha ia pinjam dari saudaranya yang masih punya hati dengan keadaan pasangan muda itu.
Beberapa hari masih belum banyak yang beli. Memasuki bulan ketiga, pasangan muda itu merasakan sedikit putus asa. Penghasilan yang diperoleh belum sebanding dengan keringat yang bercucuran sedari pukul 03.00 dini hari, sampai selesainya jualan.
Pada malam hari, Jakuro berbisik pada istrinya. “Aku akan pergi ke sana beberapa hari saja. Besok Kamis legi, wetonku. Hari lahirku. Itu bagus untuk tirakat.”
Tirakatan sudah menjadi kebiasaan keluarga orang tuanya. Menjauhkan diri dari keramaian. Bersunyi-sunyi di tempat tertentu, yang dianggap keramat. Waktu kecil ia pernah sekali diajak Bapaknya ke sebuah tempat: Sendang semanggi. Saat itu, ia hendak mengikuti ujian kelulusan Sekolah Dasar.
Semenjak Jakuro tak tampak, Istrinya ditanya, kemana suaminya. “Kok nggak kelihatan?” Biasanya hanya jawaban pendek yang bisa keluar dari mulut perempuan itu. “Sedang pergi, ada urusan”
Seminggu, setelah kepulangan dari bertirakat, lambat laun keadaan mulai berubah. Pembeli sedikit demi sedikit bertambah. Keuntungan mulai dirasa. Tak berapa lama, modal diperbesar. Warung diperlebar. Untuk keperluan bahan olahan tidak perlu lagi tiap hari datang ke pasar. Cukup menunggu di rumah, sudah ada yang memasok. Nangka muda, manggar, gula jawa, kelapa dan bumbu-bumbu lainnya.
Mereka pun akhirnya bisa membesarkan rumah, menjadi lebih pantas sebagai hunian sepasang suami istri. Malahan, untuk urusan melayani pembeli di warung, sudah bisa mempekerjakan satu orang untuk membantu. Sepertinya, penghasilan mereka mulai memadai.
***
Suatu waktu, datanglah seorang perempuan muda. Janda tanpa anak. Usianya sepantaran dengan anak pertama Jakuro. Sedang Jakuro sudah sampai usia kepala lima. Setiap orang yang ditanya,”Kenal Pak Jakuro?” Mereka langsung menjawab,”Yang punya warung gudeg terkenal itu kan”
“Aku sudah dua tahun menjanda. Sudah ingin nikah lagi. Nggak enak sendirian begini, banyak omongan yang aneh-aneh. Tapi belum juga ketemu jodoh” Katanya kepada Bu Jakuro yang wajahnya seperti berminyak karena keringat.
Sarmikem, perempuan itu dari desa sebelah. Sudah lama kenal baik dengan keluarga Pak Jakuro. Agak jauh, lelaki itu mendengar percakapan kedua perempuan. Saat ada kesempatan, dia berkata,”Beneran, kamu kepengin kawin lagi Sarmi?”
“Tenan, Pak-ne. Bisa carikan laki-laki, duda nggak masalah” Sarmikem menjawab tanpa malu-malu.
Pak Jakuro mendekat ke kedua perempuan itu. “Sarmi, coba kamu duduk di sana.” Lelaki itu menunjuk sebuah batu yang ada di dekat pojok pawon.” Tidak bulat, tapi tidak juga pipih.
Ketiga pasang mata menatap arah pawon. Pawon yang terbuat dari tanah liat. Dibentuk sedemikian rupa sehingga bisa dijadikan tungku besar dengan dua lubang untuk keluarnya bara api. Konon, masak di pawon yang berbahan bakar kayu, menjadikan masakan terasa enak.