Duduklah Sarmikem beberapa lama di atas batu itu. Ia ikuti saja saran Pak Jakuro. Sampai akhirnya dia disuruh menyudahi. “Sudah cukup, Sarmi”
Tak sampai tiga minggu, Sarmikem mendatangi warung gudeg itu lagi. Bukan untuk membeli. Mewartakan, dirinya hendak dilamar seorang perjaka, pengusaha muda dari Jakarta. “Maturnuwun, terimakasih, sudah dibantu” demikian Sarmikem bertutur pada Pak Jakuro dan istrinya.
Setelah menikah beberapa lama, kehidupan Sarmikem berubah. Status sosial ekonominya naik. Kini tak lagi dipanggil Sarmi. Sarmikem. Tapi menjadi Bu Mike atau Tante Mike. Dipungut dari empat huruf tengah nama pemberian orang tuanya. Nama kas anak kampung : Sar-MIKE-m. Anak-anaknya pun memanggilnya: Mama Mike.
Pergaulannya pun luas seiring sebagai pendamping seorang pengusaha dengan segala relasinya.
Cas cis cus. Akhirnya berceritalah dalam berbagai kesempatan tentang awal pertemuannya dengan suaminya itu. Berkisahlah saat seret dapat jodoh. Ujungnya, batu di pojok pawon Pak Jakuro itulah yang mempercepat penemuan lelaki yang kini jadi pendamping hidupnya. Ujarnya, kepada siapapun yang bertanya. Terutama para perempuan.
Bisik-bisik mulai masuk ke telinga Tante Mike. Dari perempuan muda yang ingin segera menikah. Janda kesepian yang rindu pendamping. Sampai perempuan yang siap jadi istri kedua bagi seorang pejabat daerah yang sedang diincarnya.
Sarannya satu: datangi warung gudeg Pak Jakuro, duduklah di batu pojok pawon.
Satu persatu peminat itu berdatangan mencari peruntungan. Memperkenalkan diri. Mohon izin ke Pak Jakuro, menyampaikan keperluannya. Pada kemudian waktu, mereka datang lagi, menyampaikan kabar: Sudah ketemu jodoh.
Sekali waktu Bu Jakuro pun bertanya kepada mereka yang sudah bertemu jodoh. Apa yang dirasakan setelah duduk di atas batu pojok pawonnya? Kata mereka, dirinya merasa cantik dan semakin cantik. Maka mereka jadi mudah dipikat oleh lelaki yang bermata jeli.
Bukan main. Alangkah gembiranya Pak Jakuro dan istrinya bisa ikut memberi jalan pencarian pasangan hidup. Dari kesaksian orang-orang luar daerah itulah, warung gudeg Pak Jukoro makin ramai pengunjung. Sampai mulailah hadir sebuah sebutan: Warung Gudeg Podjok Pawon.
Entah bagaimana ceritanya, misteri pojok pawon itu menjadi buah bibir orang-orang luar daerah. Kekuatan getarannya mengusik para perempuan yang kebelet kawin. Mulailah, banyak mobil terparkir dekat warung. Pengunjung dari luar daerah punya urusan dengan pojok pawon di warung gudeg itu.
“Mau beli gudeg berapa bungkus?” sapa Pak Jakuro.
“Belinya nanti saja. Saya mau duduk di pojok pawon dulu” seorang perempuan tiga puluhan tahun menjawab. Ia mengaku, sudah malu disebut perawan tua.
Akhirnya, lambat laun, situasi warung ramai luar dalam. Di luar dapur maupun di dalam dapur, menunggu giliran duduk di pojok pawon. Setiap perempuan yang selesai duduk di batu itu, memberi tambahan uang dalam amplop pada saat pembayaran gudeg.
Awalnya, baik Pak Jakuro dan istrinya menolak. Tapi apa mau dikata, mereka memaksa. "Sudahlah, diterima saja." Kadang ditaruh begitu saja dan pergi. Akan tetapi, ada juga yang perempuan yang nyelonong keluar tanpa permisi dan tanpa berucap terima kasih. Hanya ikut memanfaatkan situasi ramai. Perempuan yang begini tentu tidak ketahuan hasilnya. Ketemu jodoh atau tidak, karena enggan memberi tahu.
***