Mohon tunggu...
Sarwo Prasojo
Sarwo Prasojo Mohon Tunggu... Angin-anginan -

Suka motret, tulas-tulis dan ini itu. Dan yang pasti suka Raisa

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Terakhir pada Musim Kemarau

14 September 2015   22:37 Diperbarui: 15 September 2015   07:16 294
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sudah empat bulan ini, langit tak juga berkenan memercikan air pada hamparan tanah sawah. Pekarangan dan atap rumah. Pohon terasa gerah, dekil dan kulitnya kusam. Sumur menjadi tak bisa lagi disebut sebagai sumber. Ia hanya lubang berdiameter lebar dan dalam, tapi tak memberi kebutuhan yang cukup bagi pemiliknya. Tali timba rindu sentuhan tangan tuan rumahnya. Lama, teronggok dalam sepi.

Walau sungai di kampung itu sesial yang dirasakan semua sumur milik warga. Namun di sanalah, akhir dari pencarian kebutuhan mendasar warga. Sungai itu masih memberi rasa ibanya kepada orang-orang. Ia tunjukkan dari yang tersembunyi. Yang tak kasat mata.

Ya, sungai memang mengering. Namun sepanjang pelataran tepian sungai, berjajar belik-belik. Tempat yang paling ramai pada pagi dan sore dikunjungi warga. Menjadi wahana hiburan tersendiri bagi mereka yang jengah di rumah. Belik, tak beda dengan sumur sebagai sumber air. Hanya butuh tak sampai satu meter menggali sungai, untuk mendapatkan mata air.

Mbah Kusdiman, merasakan beratnya setiap musim kemarau. Sudah beberapa kali sumur diperdalam, tapi tak juga menjadi jalan agar keluarganya bisa mendapatkan air dari situ.

Ia pun membawa dirinya berjalan ke sungai. Hingga kepergianya pada pagi hari itu diniatkan untuk satu tujuan, mencari sumber air. Membuat belik. Walau sebenarnya, mudah saja baginya, ambil saja air dari belik-belik yang sudah ada. Tidak repot. Sebagaimana beberapa orang kampung yang malas, cari enak sendiri.

Ia mengeduk bebatuan kali. Diambilnya sebongkah demi sebongkah, hingga pasir yang menemani bebatuan itu ia keruk dengan tempurung kelapa yang sengaja dibawanya dari rumah. Tak dalam. Hanya mendekati satu meter saja, air sudah bisa mengumpul banyak. Warnanya masih keruh. Ia turas dengan gayung plastik, hingga dasar belik terlihat jelas. "Weleh, mata airnya deras banget." Ia kegirangan.

Cukup sudah, gumamnya. Tepian belik dikelilingi bebatuan agar tidak longsor. Dasar belik disebari baru kerikil sebesar buah dukuh. Pikirnya, itu untuk menahan lumpur tidak terkoyak saat diciduk, sehingga kebeningannya bisa dijaga.

Ia membersihkan diri setelah menunggu air belik penuh dan bersih. Bermandilah ia. Seperlunya. Terpenting, tubuhnya yang tadi bersimbah peluh dan terpercik air berlumpur hilang.

“Siang-siang begini jangan di sungai, nanti ketempelan setan Mbah?” tanya seorang perempuan muda bercanda ke diri Mbah Kusdiman. Keduanya bertegur sapa saat papasan di daratan sebelah barat Sungai. Pria paruh baya itu tengah melangkah pulang.
“Bikin belik, Nartinem. Siapa tahu, setannya mau mandi di belik punya saya” Ia tertawa dengan jawabannya sendiri.

Istrinya mencari-cari sedari tadi. Sampai akhirnya Mbah Kusdiman memasuki rumah. “Pergi kemana saja Pak. Saya cari kemana-mana. Tanya orang banyak. Katanya di sungai”

“Bikin belik Bu. Yang kemarin airnya kurang bagus”

Sekedar alasan saja. Sebenarnya ia sengaja bikin yang baru. Belik yang lama menimbulkan pertentangan dirinya dengan Misran. Kemarin pagi.
“Mbah, jangan dihabiskan airnya. Saya butuh banyak untuk hari ini” Begitu ujar Misran.
Mbah Kusdiman yang baru saja datang ke sungai sebelum Misran, jadi tak mengerti. Kenapa dirinya yang dituduh. Pagi itu, sekitar pukul Sembilan, Mbah Kusdiman berangkat hendak mandi di belik. Sekaligus membawa dua dirigen besar dengan pikulannya.
“Sran, Misran. Saya nggak tahu menahu dengan urusan air belik yang habis. Mungkin ada orang lain yang tadi mengambil air banyak. Saya kan baru datang!”

Sepertinya Misran tak percaya perkataan Mbah Kusdiman. “Mentang-mentang sampeyan yang bikin!” Diambilnya beberapa batu yang ada di sekitar belik. Dilemparkan satu per satu ke dalam lubang itu, hingga menutupi. Batu menggunung. Belik tak bisa difungsikan lagi, seketika.

Sebagai orang tua, Mbah Kusdiman tersinggung dengan perlakuan Misran yang beda umur puluhan tahun itu. Diambilnya pikulan yang tergeletak. Dia sabetkan ke tubuh Misran. Sayang, orang muda ini sigap dan mampu menghindar. Merasa malu dan tidak menyangka dengan tindakan Orang tua itu, Misran bergegas meninggalkan tempat. Ia urungkan niatnya mengambil air.

“Dasar, anak nggak tahu diuntung” Berkata Mbah Kusdiman sambil melhat punggung Misran yang makin menjauh. Dan tak sekalipun Misran menengok ke tempat kejadian tadi.

Beruntung sekali, suasana sungai tidak seramai biasanya. Kejadian itu menjadi rahasia mereka berdua. Itu harapan Mbah Kusdiman. Sengaja ia tidak memperbaiki belik yang sudah terurug batu. Baginya, lebih berharga membuat yang baru. Sekaligus sebagai cara membuang kejadian tak mengenakan yang baru saja dialami. Dan menjadikan bekas belik itu laksana prasasti.

Keesokan harinya, sudah hampir lima kali Mbah Kusdiman bolak balik dari rumah ke sungai. Mumpung masih pagi, alasannya. Dua dirigen besar itu sengaja tak diisi penuh. Itu terasa berat sekalii baginya. Mending semampunya. Kemampuan tubuhnya tak seperti dulu.

“Buat persiapan nanti sore” Jawabnya saat ada seseorang yang menegurnya. ”Belum selesai Mbah?”

Biasanya Pagi setelah sarapan, ia menyempatkan diri ke Sungai mengambil air sekali angkut. Tetapi hari itu, sengaja ia berkali-kali mengangkut. Dituangkan air itu ke dalam penampungan yang tingginya hampir sepadan dengan lehernya. Mbah Kusdiman ingin, sampai sore nanti penuh terisi.
“Sudah Pak. Jangan ambil air lagi. Sudah cukup segitu saja. Jangan maksa diri” Teriak istrinya mengingatkan dari kejauhan.
“Iya Bu, tinggal beberapa kali lagi. Bapak ingin nanti sore mandi di rumah saja. Jadi diisi banyak, begitu”

Setelah dipikir-pikir, ia akhirnya menuruti permintaan istrinya. Ia sudahi dulu, untuk istirahat. “Siapa tahu ada baiknya” batinnya.

Pria itu tetap saja tak mau diam. Kendati anak lelakinya sudah melarang untuk tidak usah ikut mengambil air, ia senang saja melakoninya. Baginya, air adalah sumber kehidupan. Air yang bersih turut menyumbang umurnya yang panjang. Membawakan air yang baik hingga sampai ke rumah, tak ada bedanya dengan melanjutkan kehidupan bagi keluarganya.
“Bu, seperlunya memakai airnya. Bapak ingin, penampung air itu penuh. Termasuk bokor dan ember yang kita punya. Nanti sore sehabis ashar, saya akan berangkat lagi. Ambil lagi”
“Emang mau buat apa Pak, nggak seperti biasanya?”
“Saya ingin mandi bersih di rumah” jawabnya singkat

Sore, seperti yang sudah diucapakan dihadapan istrinya, Mbah Kusdiman berangkat ke sungai. Menuju belik yang baru dibutnya kemarin hari. Dua dirigen dan pikulan dipundaknya. Sore yang cukup panas. Matahari masih saja mengibaskan sinarnya, hingga kaos lengan panjang yang dikenakannya serasa tak berarti. Masih terasa menyengat. Tapi ia bertopi agak lebar.
“Mau ambil air lagi Mbah. Belum cukup ya?” seorang ibu bertanya
“Belum cukup. Butuh banyak. Nanti malam mau ada tamu”
“Oh”

Sudah kembali untuk kali ketiga. Ia belum merasa cukup lelah. Dan selalu saja orang menyapanya sepanjang ia melangkah dan berpapasan dengan warga kampung.
“Semangat Mbah, semangat. Jangan kalah sama yang sama-sama tua” gurauan anak muda padanya.
Ia berhenti. Tersenyum. “Mumpung masih ketemu musim kemarau. Nikmati saja”

Sudah tidak tahu berapa kali Mbah Kardiman mengangkut air sore itu. Dia tidak menghitung. Targetnya semua penuh. Dan akhirnya kesampaian. Ia senang. Puas. Rencananya mandi di rumah yang ia rindukan sudah di depan mata.

Segelas air putih diteguknya. Cukup untuk membasahi kerongkongan yang terasa kering. Sembari kipas-kipas melepas kelelahan, ia tiduran di bangku panjang. Sampai akhirnya, sang istri membangunkannya beberapa waktu kemudian.
“Bangun Pak. Sudah sore, katanya mau mandi di rumah!”
Tak juga Mbah Kusdiman bangun. Sampai akhirnya, datanglah anak lelakinya yang baru pulang kerja.
“Bapakmu nggak bangun-bangun sedari tadi. Sehabis ambil air di belik” ibunya berkata.

Dan anak lelaki itu pun berusaha membangunkan  Bapaknya. Tapi tak juga berhasil. Ia mulai panik. Didatangkanlah mantri kesehatan yang ada di kampung.

“Mbah Kusdiman sudah meninggal” kata pria pegawai Puskesmas itu.

Seluruh warga terperanjat mendengar pengumuman berita lelayu yang dikumandangkan dari masjid. Apalagi yang sore tadi sempat melihatnya. Berpapasan dan bertegur sapa. Satu demi satu orang mulai berdatangan. Rumah menjadi sesak. Tamu pun banyak. Melayat.

Akhirnya ia dimandikan setelah semua persiapan rampung. Mbah Kusdiman memenuhi janjinya untuk mandi di rumah. Mandi dengan air yang satu hari itu ia kumpulkan dari belik terakhir buatannya. Sebuah keinginan sederhana, tapi terasa mengesankan. Ia mempersiapkan sedemikian rupa, hingga orang-orang baru sadar, Mbah Kusdiman tidak mau merepotkan orang lain, di saat air sulit didapat pada musim kemarau ini.

_______Oenthoek Cacing-Bumi Cahyana, 14 Sepetember 2015

 

 ilustrasi: keprinet.com

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun