Mohon tunggu...
Sarwo Prasojo
Sarwo Prasojo Mohon Tunggu... Angin-anginan -

Suka motret, tulas-tulis dan ini itu. Dan yang pasti suka Raisa

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Terakhir pada Musim Kemarau

14 September 2015   22:37 Diperbarui: 15 September 2015   07:16 294
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sudah kembali untuk kali ketiga. Ia belum merasa cukup lelah. Dan selalu saja orang menyapanya sepanjang ia melangkah dan berpapasan dengan warga kampung.
“Semangat Mbah, semangat. Jangan kalah sama yang sama-sama tua” gurauan anak muda padanya.
Ia berhenti. Tersenyum. “Mumpung masih ketemu musim kemarau. Nikmati saja”

Sudah tidak tahu berapa kali Mbah Kardiman mengangkut air sore itu. Dia tidak menghitung. Targetnya semua penuh. Dan akhirnya kesampaian. Ia senang. Puas. Rencananya mandi di rumah yang ia rindukan sudah di depan mata.

Segelas air putih diteguknya. Cukup untuk membasahi kerongkongan yang terasa kering. Sembari kipas-kipas melepas kelelahan, ia tiduran di bangku panjang. Sampai akhirnya, sang istri membangunkannya beberapa waktu kemudian.
“Bangun Pak. Sudah sore, katanya mau mandi di rumah!”
Tak juga Mbah Kusdiman bangun. Sampai akhirnya, datanglah anak lelakinya yang baru pulang kerja.
“Bapakmu nggak bangun-bangun sedari tadi. Sehabis ambil air di belik” ibunya berkata.

Dan anak lelaki itu pun berusaha membangunkan  Bapaknya. Tapi tak juga berhasil. Ia mulai panik. Didatangkanlah mantri kesehatan yang ada di kampung.

“Mbah Kusdiman sudah meninggal” kata pria pegawai Puskesmas itu.

Seluruh warga terperanjat mendengar pengumuman berita lelayu yang dikumandangkan dari masjid. Apalagi yang sore tadi sempat melihatnya. Berpapasan dan bertegur sapa. Satu demi satu orang mulai berdatangan. Rumah menjadi sesak. Tamu pun banyak. Melayat.

Akhirnya ia dimandikan setelah semua persiapan rampung. Mbah Kusdiman memenuhi janjinya untuk mandi di rumah. Mandi dengan air yang satu hari itu ia kumpulkan dari belik terakhir buatannya. Sebuah keinginan sederhana, tapi terasa mengesankan. Ia mempersiapkan sedemikian rupa, hingga orang-orang baru sadar, Mbah Kusdiman tidak mau merepotkan orang lain, di saat air sulit didapat pada musim kemarau ini.

_______Oenthoek Cacing-Bumi Cahyana, 14 Sepetember 2015

 

 ilustrasi: keprinet.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun