Mohon tunggu...
Sarwo Prasojo
Sarwo Prasojo Mohon Tunggu... Angin-anginan -

Suka motret, tulas-tulis dan ini itu. Dan yang pasti suka Raisa

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Terakhir pada Musim Kemarau

14 September 2015   22:37 Diperbarui: 15 September 2015   07:16 294
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sekedar alasan saja. Sebenarnya ia sengaja bikin yang baru. Belik yang lama menimbulkan pertentangan dirinya dengan Misran. Kemarin pagi.
“Mbah, jangan dihabiskan airnya. Saya butuh banyak untuk hari ini” Begitu ujar Misran.
Mbah Kusdiman yang baru saja datang ke sungai sebelum Misran, jadi tak mengerti. Kenapa dirinya yang dituduh. Pagi itu, sekitar pukul Sembilan, Mbah Kusdiman berangkat hendak mandi di belik. Sekaligus membawa dua dirigen besar dengan pikulannya.
“Sran, Misran. Saya nggak tahu menahu dengan urusan air belik yang habis. Mungkin ada orang lain yang tadi mengambil air banyak. Saya kan baru datang!”

Sepertinya Misran tak percaya perkataan Mbah Kusdiman. “Mentang-mentang sampeyan yang bikin!” Diambilnya beberapa batu yang ada di sekitar belik. Dilemparkan satu per satu ke dalam lubang itu, hingga menutupi. Batu menggunung. Belik tak bisa difungsikan lagi, seketika.

Sebagai orang tua, Mbah Kusdiman tersinggung dengan perlakuan Misran yang beda umur puluhan tahun itu. Diambilnya pikulan yang tergeletak. Dia sabetkan ke tubuh Misran. Sayang, orang muda ini sigap dan mampu menghindar. Merasa malu dan tidak menyangka dengan tindakan Orang tua itu, Misran bergegas meninggalkan tempat. Ia urungkan niatnya mengambil air.

“Dasar, anak nggak tahu diuntung” Berkata Mbah Kusdiman sambil melhat punggung Misran yang makin menjauh. Dan tak sekalipun Misran menengok ke tempat kejadian tadi.

Beruntung sekali, suasana sungai tidak seramai biasanya. Kejadian itu menjadi rahasia mereka berdua. Itu harapan Mbah Kusdiman. Sengaja ia tidak memperbaiki belik yang sudah terurug batu. Baginya, lebih berharga membuat yang baru. Sekaligus sebagai cara membuang kejadian tak mengenakan yang baru saja dialami. Dan menjadikan bekas belik itu laksana prasasti.

Keesokan harinya, sudah hampir lima kali Mbah Kusdiman bolak balik dari rumah ke sungai. Mumpung masih pagi, alasannya. Dua dirigen besar itu sengaja tak diisi penuh. Itu terasa berat sekalii baginya. Mending semampunya. Kemampuan tubuhnya tak seperti dulu.

“Buat persiapan nanti sore” Jawabnya saat ada seseorang yang menegurnya. ”Belum selesai Mbah?”

Biasanya Pagi setelah sarapan, ia menyempatkan diri ke Sungai mengambil air sekali angkut. Tetapi hari itu, sengaja ia berkali-kali mengangkut. Dituangkan air itu ke dalam penampungan yang tingginya hampir sepadan dengan lehernya. Mbah Kusdiman ingin, sampai sore nanti penuh terisi.
“Sudah Pak. Jangan ambil air lagi. Sudah cukup segitu saja. Jangan maksa diri” Teriak istrinya mengingatkan dari kejauhan.
“Iya Bu, tinggal beberapa kali lagi. Bapak ingin nanti sore mandi di rumah saja. Jadi diisi banyak, begitu”

Setelah dipikir-pikir, ia akhirnya menuruti permintaan istrinya. Ia sudahi dulu, untuk istirahat. “Siapa tahu ada baiknya” batinnya.

Pria itu tetap saja tak mau diam. Kendati anak lelakinya sudah melarang untuk tidak usah ikut mengambil air, ia senang saja melakoninya. Baginya, air adalah sumber kehidupan. Air yang bersih turut menyumbang umurnya yang panjang. Membawakan air yang baik hingga sampai ke rumah, tak ada bedanya dengan melanjutkan kehidupan bagi keluarganya.
“Bu, seperlunya memakai airnya. Bapak ingin, penampung air itu penuh. Termasuk bokor dan ember yang kita punya. Nanti sore sehabis ashar, saya akan berangkat lagi. Ambil lagi”
“Emang mau buat apa Pak, nggak seperti biasanya?”
“Saya ingin mandi bersih di rumah” jawabnya singkat

Sore, seperti yang sudah diucapakan dihadapan istrinya, Mbah Kusdiman berangkat ke sungai. Menuju belik yang baru dibutnya kemarin hari. Dua dirigen dan pikulan dipundaknya. Sore yang cukup panas. Matahari masih saja mengibaskan sinarnya, hingga kaos lengan panjang yang dikenakannya serasa tak berarti. Masih terasa menyengat. Tapi ia bertopi agak lebar.
“Mau ambil air lagi Mbah. Belum cukup ya?” seorang ibu bertanya
“Belum cukup. Butuh banyak. Nanti malam mau ada tamu”
“Oh”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun