Satu bulan ini suamiku sering keluar malam. Justru saat aku beranjak ke tempat tidur. Katanya sebentar, ke minimarket, beli rokok. Nyatanya lebih seperempat jam hanya untuk sebungkus rokok.
Aku sebenarnya heran. Suamiku termasuk tipe orang yang senang berhitung. Belanja apapun selalu membandingkan dengan tempat lain. Kupingku sering kemasukan sebutan yang menyebalkan: Permaisuri Si Medit. Jangankan beli yang ratusan ribu. Yang di bawah lima ribu pun ia tawar. Â Tak habis mengerti, masak sih, beli gorek gas, sikat gigi satu saja pakai tawar-menawar. Itu bikin aku enggan belanja bareng. Malu. Biar saja ia belanja keperluannya sendiri. Aku pun sendiri, tapi uang aku minta dari dia.
Terpikir olehku, apa yang sebenarnya dilakukan suamiku di dalam minimarket. Beberapa karyawan pria aku tanyai. Katanya, suamiku banyak ngobrol sama Isnawati. Kasir manis itu.
Pleng! Kepalaku seperti ditempeleng. Tapi aku tak lantas langsung percaya. Aku harap itu kebetulan. Kebetulan sepi. Kan, di kampung jam sembilan sudah jarang yang keluar rumah.
Kali ini aku intai dari tirai kaca jendela. Tadinya aku pura-pura tidur lebih awal. Sampai akhirnya bangun, mendengar pintu depan ada yang membuka. Bunyi slot kunci menandai ada sebuah awal tindakan. Aku meyakini. Itu suamiku, hendak keluar rumah.
Hmm. Lima menit. Delapan menit. Lima belas menit. Sekarang mendekati dua puluh menit. Keterlaluan!
Si Isna, kasir manis itu yang tengah tugas. Di depan meja kasir, ada seorang pria yang sangat aku kenal, suamiku. Mengumbar senyum seperti jejaka mencari cinta. Penuh tebar pesona.
Dari dinding kaca, aku lihat si Isna. Tak ada yang berlebihan menghadapi suamiku. Wajar. Tapi tetap saja, kecemburuanku mulai terasa mendidih. Aku juga manusia, tahu?
Aku nyalakan lampu dapur. Suamiku yang baru pulang memburuku ke sana. Ia masuk perangkapku.
"Beli rokok di depan rumah, hampir setengah jam. Memang beli berapa karung?"
"Ya, cuma sebungkus"