Â
Lela, lengkapnya Nurlela. Anak itu belum juga bangun dari peraduannya. Persiapan pada hari pertama masuk SMP membuatnya lelah. Bayang-bayang perploncoan mengganggu pikirannya, hingga matanya sulit terpejam malam itu. Sudah tiga kali Emak membangunkannya selepas ia menaruh mukenanya pada bibir tempat tidur selepas sholat shubuh.
Bergeming. Tak ada tanda ia merasakan kakinya digoyang-goyang oleh tangan kanan Emaknya. Kedua kupingnya belum juga mampu ditembus oleh suara perempuan yang sudah meyandang usia kepala empat. Ia membatu. Pulas.
Baju seragam sudah dipersiapkan sedari sore. Buku dan peralatan tulis sudah ada dalam tas yang beberapa hari kemarin dibelinya dengan sang Emak di toko yang berjarak lima kilometer dari rumah bambunya. Apalagi. Sepatu baru, dengan kaos kaki putih yang panjangnya mendekati lutut tergeletak di kolong tempat tidurnya. Tahun ajar baru, seperti menuntutnya semua harus baru.
Orang tua mana yang tidak merasakan bahagia. Anak satu-satunya bisa diterima di sekolah negeri. Bangga. Jauh jarak yang mesti dia tempuh. Tapi anak perempuan itu memantapkan diri untuk melanjutkan ke sekolah negeri. Mengayuh sepeda yang sebagaian cat warna ungunya sudah terkelupas.  Pemberian dari orang tua temannya.
Kardiman, sang Bapak, sudah membenamkan diri dalam kepayahan memenuhi hasrat besar sang buah hati. Tidak sedikit pun terucap kepadanya tentang kesulitan hidup. Selalu saja mengiyakan permintaan Lela. Prinsipnya sederhana, yang penting untuk urusan sekolah.
Toh, enam tahun sekolah dasar sudah bisa dilaluinya. Ia yakin, selalu ada jalan untuk kebaikan masa depan penerusnya. Kardiman sangat meyakini itu. Dan, ia hanya mengeluh saat di atas sajadah.
Lelaki yang empat tahun lebih tua dari istrinya itu hanya bisa menghela nafas. Surat pemberitahuan pendaftaran ulang harus ia penuhi. Lima ratu tiga puluh ribu rupiah.
Harus mencari di mana, batinnya. Narti, istrinya paham situasi ini. Ia mencoba mendatangi saudara-saudaranya. Barangkali ada dana tertidur yang bisa pinjamnya. Jika tidak mungkin di satu tempat, di beberapa tempat pun tak mengapa. Yang penting terkumpul. Sukur-sukur ada yang malah memberi. Tapi itu harapan tersembunyi, yang kemungkinannya kecil.
"Semua bilang, urusannya sama, Pak"
"Sama bagaimana, Mak"