Mohon tunggu...
S. R. Wijaya
S. R. Wijaya Mohon Tunggu... Editor - Halah

poetically challenged

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

[Fiksi Runyam] Jumbleng dan Kuasa atas Uang

25 November 2016   02:08 Diperbarui: 25 November 2016   15:41 315
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Mbah Jumbleng itu duitnya banyak. Tetapi tak ada yang tahu pasti dari mana ia mendapatkan kekayaannya. Orang-orang cuma bisa menduga bahwa keanggotaannya di PKT (Paguyuban Kolektor Tuyul) menjadi pangkal dari berlimpahnya pundi-pundi hartanya. Tapi ya namanya juga sekumpulan orang, dan namanya juga dugaan, tentulah gosip itu belum bisa dipastikan sebagai kebenaran.

Fakta yang diketahui khalayak adalah bahwa Mbah Jumbleng kerap membantu orang dengan uangnya itu. Kadang jumlahnya fantastis. Jumlah itu tak terbayangkan bisa dibayarkan oleh manusia renta yang penampilan kesehariannya sering cuma bersinglet buluk dan sarungan doang.

Contohnya, satu waktu anak tetangganya diculik dengan permintaan tebusan 200 juta rupiah. Emaknya sudah hampir menggadai sawah di kampung. Bapaknya nyaris berniat merampok toko emas di pasar, sebelum Simbah datang menawarkan bantuan.

“Dalam satu kali 24 jam anakmu akan kubawa pulang. Beri aku waktu buat ngurus ini pakai caraku. Kalau masih belum berhasil, baru besok kubayarken tebusannya. Tak perlu juga lapor polisi. Tunggu saja sambil berdoa,” kata Simbah kepada orang tua si anak dengan pede-nya. Orang tua si anak gamang. Menunda penggadaian sawah dan perampokan toko emas sehari saja berarti merisikokan nyawa sang anak. Namun ada sesuatu dalam diri Mbah Jumbleng yang memaksa mereka ikut prosedur itu. Mereka pun setuju dan rela menunggu tenggat yang dijanjikan.

Esoknya, Simbah betul-betul mengembalikan anak itu dalam keadaan selamat tak kurang satu organ pun kepada orang tuanya.

 Mau tahu kenapa bisa? Ini sebetulnya rahasia. Tapi akan saya buka di sini. Yang terjadi adalah: Simbah tahu seluk-beluk dunia hitam. Dia mengenali person per person yang bermain. Informannya cukup banyak. Usut punya usut, rupanya si penculik adalah orang yang pernah dia bebaskan dari utang judi. Namanya Jamlikun. Informan telah memastikan yang bersangkutan sedang berada di kontrakannya.

Jadi Simbah hanya perlu visit ke kontrakan Jamlikun dan menyemprot, “Anak anjing kowe, Kun. Bocah yang kowe culik kemarin dari Cibinong itu sedulurku. Sini kupulangkan.”

“Aduh, Mbah. Kok Mbah bisa sampai….”

Ora usah nyangkem!” teriak Simbah keras sekali. “Berhenti kowe jadi tukang culik mulai sekarang, paham? Kalau masih saja, kusantetken kulkas dua pintu nanti ke dalam usus buntumu. Atau mesin parut kelapa? Mau, heh?”

“Saya tobat, Mbah. Janji. Nyuwun ngapunten.” Si Jamlikun pun mencium akik di jari Simbah sambil dengkulnya gemetaran. Lalu anak kecil itu dikeluarkan dari kamarnya dan diboyong Simbah pulang.

Wah, emaknya bersukacita luar biasa. Saking girangnya sang emak sampai menghubungi Vatikan, minta pengusulan agar Simbah jadi santa. Lantas bikin tumpengan sampai se-RW pun kebagian. Warga pun senang dan terpesona. Mereka berasumsi Simbah keluar duit 200 juta. Padahal cuma ongkos ojek.

*

Kisah pembebasan utang Jamlikun berkaitan dengan urusan nyawa pemberi utangnya. Jamlikun berutang judi kepada seorang bandar bernama Mukidjo. Si Mukidjo ini pada era 80-an adalah tukang copet. Copet amatiran, tepatnya, karena dia pernah ketangkap basah dan hampir tewas diamuk massa. Simbah menyelamatkannya.

Di sebuah pasar malam, ketika Mukidjo sudah babak belur, Simbah yang kebetulan sedang jalan-jalan di pasar malam itu tampil dengan megaphone diplomacy. “Hoi, hoi, hoi, hentiken,” teriak simbah membahana karena ia memakai Toa pinjaman dari mobil pikap layar tancap keliling.

“Manusia ini mau kukawinken dengan anak perempuanku besok pagi. Dia mungkin mencopet gara-gara belum punya duit buat bayar mahar. Ingsun mohon dimaklumi. Dompet sudah dikembaliken kepada empunya. Tapi tolong manusia ini dibiarken hidup. Besok muka bengepnya ini masih bisa dipermak di depan penghulu. Ada bedak dan gincu. Jadi mohon saudara-saudara lepasken dia. Ingsun minta tolong sekali. Please, demi Toutatis,” pidatonya di depan publik dalam gema Toa. Massa seketika hening. Lagu dangdut Termiskin di Dunia, yang mendayu-dayu dari pengeras suara kemidi putar, langsung jadi musik latar.

Pada zaman itu perkawinan masih lumayan sakral. Belum ada infotainment. Begitu massa mendengar rencana perkawinan yang diutarakan seorang calon mertua mengenaskan dengan kostum singlet dan sarungan, dalam iringan suara menyayat Hamdan ATT, maka apa boleh buat mereka pun membubarkan diri. Ngomel sih tentu. Namun tetap terbit rasa kasihan dan permakluman di dalam hati. Maka selamatlah Mukidjo. Kepada Simbah, yang baru saja dikenalnya lewat peristiwa amuk massa itu, ia berikrar tak akan mencopet lagi. Ia kemudian hidup makmur sebagai bandar judi klutuk, atau judi dadu.

Padahal Simbah tak pernah punya anak perempuan, lho. Wong kawin saja enggak. Tukang tipu juga Simbah itu.

Nah, karena berutang nyawa, Mukidjo tak berpikir dua kali saat Simbah memintanya untuk memutihkan utang Jamlikun yang jumlahnya belasan juta.

“Jadi begini, Kid,” ujar Simbah di vila musim panas milik Mukidjo di Ciawi.

“Aduh, Mbah. Jangan ‘Kid’, dong. Kesannya kayak manggil kucing kecil yang nggak ada garang-garangnya, gitu.”

“Lha, apa? ‘Joe’?”

“Boleh juga, Mbah. Tapi teman-teman gaul saya sih ‘manggil saya ‘Jordy’. Yang artinya: Mukidjo bandar judi, gitu.”

“Aku bukan temanmu. Lalu nama itu nggak cocok sama mukamu. Kid saja. Sudah diam.”

“Inggih, Mbah. Maaf.” Mukidjo pun mencium akik Simbah. Kecup, kecup.

“Ada yang berutang ke kowe, Kid. Namanya Jamlikun. Kasihan dia. Kata istrinya, centengmu saban hari meneror kontrakannya sampai si istri ini minggat ketakutan dan malu. Si Jamlikun ini sedang nggak punya gawean, wahai Jordy. Anaknya masih bayi. Rumah lamanya baru saja kena gusuran tanpa kompensasi. Nah, keperluanku kemari yakni untuk minta tolong kowe nolken saja utangnya. Demi kemanusiaan yang adil dan beradab. Kowe bersedia?”

“Baiklah, Mbah.”

“Ikhlas?”

“Banget, Mbah.”

“Bagus. Kalau begitu, ambillah uang ini,” ujar Simbah sembari menyerahkan amplop besar berisi uang sejumlah utang Jamlikun. Isinya sembilan belas juta dua puluh ribu rupiah. Yang 20.000 perak itu disiapkan Simbah buat ongkos pulang naik angkot. Disisihkan dan digeletakkannya di atas meja. Amplopnya ia sodorkan.

“Lho, katanya minta dihapuskan, kok malah dibayar? Simbah ini bego atau gimana, sih?”

Mukidjo kena tampar. Giginya copot lima. Lalu hening. Kompo yang memutar lagu Lebih Baik Sakit Gigi karya Meggy Z dari kamar Mukidjo pun terdengar mengalun sebagai ilustrasi.

“Aku menghargai ketulusanmumu memutihken utang Jamlikun. Dan karena aku juga menghargai niatmu buat keluar dari bisnis judi, maka baiknya kubayarken utang itu. Kebetulan aku punya duit. Anggap wae hadiah. Jadi pakai saja duit yang sedikit ini buat bantu-bantu menerusken cita-citamu bikin rental helikopter. Yang penting halal. Paham maksudku?”

“Pwahwam, Mbwah.”

“Mengesanken. Sekarang aku pamit.”

 *

Demikianlah gaya hidup Simbah. Ia mengolah semua informasi terkait mobilitas sosial. Saban ia tahu ada orang kepepet atau orang berniat keluar dari dunia hitam, ia sregep membantu.

Dia suatu kali pernah mendengar gosip bahwa Mukidjo menderita pergulatan batin karena menafkahi anak-bininya dengan duit kotor hasil judi, lantas Mukidjo berniat banting setir jadi ojek helikopter. Simbah menimbang dan memutuskan sikap untuk membantunya. Hal tamparan yang merontokkan lima buah gigi Mukidjo itu juga tak lain adalah reinforcement terselubung. Simbah sudah tahu Mukidjo sedang menempuh kursus terbang. Mesin heli latih, yang diimpor dalam kondisi bekas, barang tentu mempersyaratkan beban teringan dari para awaknya agar terbang sempurna. Gigi rontok adalah awal bagi penerbangan sempurna.

Di atas segalanya, hal paling fenomenal dari perilaku sok altruistik itu adalah sikap Mbah Jumbleng sendiri terhadap uang. Ia membuang uang sesukanya sebagai bentuk ekspresi bahwa ia begitu berkuasa atas uang, dan mampu mengendalikan jenis kuasa apa saja yang diperbuat oleh uang tersebut. Uang itu punya sejenis kuasa buat membeli jiwa yang sesat, tulisnya di diari. Sok-sokan lurus banget, ngatain orang sesat. Mau meniru  karakter pastor di novel Les Miserables, apa? Nggaya.

Tetapi Mbah Jumbleng memang kaya raya. Tak ada yang bisa membantah.

“Sebagian duitku itu asale dari warisan, Mas,” aku Simbah pada saya suatu kali ketika kami mengobrol. “Kalau aku sekarang punya tabungan miliaran, aku pun ndak tahu dari mana saja sumbernya. Pernah ada beberapa orang kaya yang tahu-tahu ngasih aku amplop bulanan. Jebule mereka orang yang dulu pernah kukasih modal dagang. Begitu usahane maju, aku dianggap punya semacam saham di perusahaane, jur dikasih duit rutin. Lha wong tadinya aku wae lupa sama muka mereka, lupa kapan persisnya aku mbantu-bantu. Kok orang-orang itu akhirnya malah nyetori aku. Goblok kan mereka itu?”

*

Simbah langsung pulang setelah berpamitan kepada Mukidjo. Di pinggir jalan, Simbah menunggu angkot yang tak datang-datang. Bosan, mati gaya, dibetulkannya gulungan sarungnya. Seketika ia sadar. Tempat penyimpanan duit recehannya—yaitu gulungan sarung itu—ternyata kosong melompong. Duit ongkosnya yang 20 ribu tertinggal di meja Mukidjo.

Asu! Alamat pulang jalan kaki….

Maka berjalan kakilah Simbah sambil mengutuki dirinya sendiri. Lunglai dan reyot. Sesampai di Bogor, ia sempat pula tersesat. Sambil mengingat-ingat lokasi, tiba-tiba sebuah angkot kosong membuntutinya di seruas jalan sepi. Sopirnya tersenyum ramah dan menyapa, “Kebon Raya, Bro? Kebon Raya? Mau sewa, nggak?”

Dari angkot itu kebetulan terdengar lagu Ayu Ting Ting sebagai ilustrasi. Volumenya disetel cukup kencang sampai basnya jedung-jedung.

Ke mana ke mana ke mana

Ku harus mencari ke mana

Simbah entah kenapa kesal betul mendengar lagu itu. Padahal sound-system angkot itu jernih sekali. Padahal Ayu Ting Ting nggak pernah selingkuh sama Raffi. Entah kenapa.

“Kowe ngeledek aku ya, Sep?! Heh?!” Lalu ditimpuknya angkot itu dengan sandalnya yang kanan. Membentur kaca.

“Ya Allah. Ampuni hambamu ini,” lengking sang sopir. Dia jeri sekali melihat wajah Simbah yang memancarkan azab. Angkot itu langsung tancap gas begitu Simbah bersiap meluncurkan sandalnya yang kiri.

“Betul-betul hari sial. Sudah nggak ada sewa, ditimpukin aki-aki gila pula,” batin sopirnya.

Oalah, Mbaaah, Mbah. Makan tuh kekuasaan.

***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun