Mohon tunggu...
S. R. Wijaya
S. R. Wijaya Mohon Tunggu... Editor - Halah

poetically challenged

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

[Fiksi Runyam] Jumbleng dan Kuasa atas Uang

25 November 2016   02:08 Diperbarui: 25 November 2016   15:41 315
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

“Mengesanken. Sekarang aku pamit.”

 *

Demikianlah gaya hidup Simbah. Ia mengolah semua informasi terkait mobilitas sosial. Saban ia tahu ada orang kepepet atau orang berniat keluar dari dunia hitam, ia sregep membantu.

Dia suatu kali pernah mendengar gosip bahwa Mukidjo menderita pergulatan batin karena menafkahi anak-bininya dengan duit kotor hasil judi, lantas Mukidjo berniat banting setir jadi ojek helikopter. Simbah menimbang dan memutuskan sikap untuk membantunya. Hal tamparan yang merontokkan lima buah gigi Mukidjo itu juga tak lain adalah reinforcement terselubung. Simbah sudah tahu Mukidjo sedang menempuh kursus terbang. Mesin heli latih, yang diimpor dalam kondisi bekas, barang tentu mempersyaratkan beban teringan dari para awaknya agar terbang sempurna. Gigi rontok adalah awal bagi penerbangan sempurna.

Di atas segalanya, hal paling fenomenal dari perilaku sok altruistik itu adalah sikap Mbah Jumbleng sendiri terhadap uang. Ia membuang uang sesukanya sebagai bentuk ekspresi bahwa ia begitu berkuasa atas uang, dan mampu mengendalikan jenis kuasa apa saja yang diperbuat oleh uang tersebut. Uang itu punya sejenis kuasa buat membeli jiwa yang sesat, tulisnya di diari. Sok-sokan lurus banget, ngatain orang sesat. Mau meniru  karakter pastor di novel Les Miserables, apa? Nggaya.

Tetapi Mbah Jumbleng memang kaya raya. Tak ada yang bisa membantah.

“Sebagian duitku itu asale dari warisan, Mas,” aku Simbah pada saya suatu kali ketika kami mengobrol. “Kalau aku sekarang punya tabungan miliaran, aku pun ndak tahu dari mana saja sumbernya. Pernah ada beberapa orang kaya yang tahu-tahu ngasih aku amplop bulanan. Jebule mereka orang yang dulu pernah kukasih modal dagang. Begitu usahane maju, aku dianggap punya semacam saham di perusahaane, jur dikasih duit rutin. Lha wong tadinya aku wae lupa sama muka mereka, lupa kapan persisnya aku mbantu-bantu. Kok orang-orang itu akhirnya malah nyetori aku. Goblok kan mereka itu?”

*

Simbah langsung pulang setelah berpamitan kepada Mukidjo. Di pinggir jalan, Simbah menunggu angkot yang tak datang-datang. Bosan, mati gaya, dibetulkannya gulungan sarungnya. Seketika ia sadar. Tempat penyimpanan duit recehannya—yaitu gulungan sarung itu—ternyata kosong melompong. Duit ongkosnya yang 20 ribu tertinggal di meja Mukidjo.

Asu! Alamat pulang jalan kaki….

Maka berjalan kakilah Simbah sambil mengutuki dirinya sendiri. Lunglai dan reyot. Sesampai di Bogor, ia sempat pula tersesat. Sambil mengingat-ingat lokasi, tiba-tiba sebuah angkot kosong membuntutinya di seruas jalan sepi. Sopirnya tersenyum ramah dan menyapa, “Kebon Raya, Bro? Kebon Raya? Mau sewa, nggak?”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun