Mohon tunggu...
S. R. Wijaya
S. R. Wijaya Mohon Tunggu... Editor - Halah

poetically challenged

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

[Fiksi Runyam] Jumbleng dan Kuasa atas Uang

25 November 2016   02:08 Diperbarui: 25 November 2016   15:41 315
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

*

Kisah pembebasan utang Jamlikun berkaitan dengan urusan nyawa pemberi utangnya. Jamlikun berutang judi kepada seorang bandar bernama Mukidjo. Si Mukidjo ini pada era 80-an adalah tukang copet. Copet amatiran, tepatnya, karena dia pernah ketangkap basah dan hampir tewas diamuk massa. Simbah menyelamatkannya.

Di sebuah pasar malam, ketika Mukidjo sudah babak belur, Simbah yang kebetulan sedang jalan-jalan di pasar malam itu tampil dengan megaphone diplomacy. “Hoi, hoi, hoi, hentiken,” teriak simbah membahana karena ia memakai Toa pinjaman dari mobil pikap layar tancap keliling.

“Manusia ini mau kukawinken dengan anak perempuanku besok pagi. Dia mungkin mencopet gara-gara belum punya duit buat bayar mahar. Ingsun mohon dimaklumi. Dompet sudah dikembaliken kepada empunya. Tapi tolong manusia ini dibiarken hidup. Besok muka bengepnya ini masih bisa dipermak di depan penghulu. Ada bedak dan gincu. Jadi mohon saudara-saudara lepasken dia. Ingsun minta tolong sekali. Please, demi Toutatis,” pidatonya di depan publik dalam gema Toa. Massa seketika hening. Lagu dangdut Termiskin di Dunia, yang mendayu-dayu dari pengeras suara kemidi putar, langsung jadi musik latar.

Pada zaman itu perkawinan masih lumayan sakral. Belum ada infotainment. Begitu massa mendengar rencana perkawinan yang diutarakan seorang calon mertua mengenaskan dengan kostum singlet dan sarungan, dalam iringan suara menyayat Hamdan ATT, maka apa boleh buat mereka pun membubarkan diri. Ngomel sih tentu. Namun tetap terbit rasa kasihan dan permakluman di dalam hati. Maka selamatlah Mukidjo. Kepada Simbah, yang baru saja dikenalnya lewat peristiwa amuk massa itu, ia berikrar tak akan mencopet lagi. Ia kemudian hidup makmur sebagai bandar judi klutuk, atau judi dadu.

Padahal Simbah tak pernah punya anak perempuan, lho. Wong kawin saja enggak. Tukang tipu juga Simbah itu.

Nah, karena berutang nyawa, Mukidjo tak berpikir dua kali saat Simbah memintanya untuk memutihkan utang Jamlikun yang jumlahnya belasan juta.

“Jadi begini, Kid,” ujar Simbah di vila musim panas milik Mukidjo di Ciawi.

“Aduh, Mbah. Jangan ‘Kid’, dong. Kesannya kayak manggil kucing kecil yang nggak ada garang-garangnya, gitu.”

“Lha, apa? ‘Joe’?”

“Boleh juga, Mbah. Tapi teman-teman gaul saya sih ‘manggil saya ‘Jordy’. Yang artinya: Mukidjo bandar judi, gitu.”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun