“Aku bukan temanmu. Lalu nama itu nggak cocok sama mukamu. Kid saja. Sudah diam.”
“Inggih, Mbah. Maaf.” Mukidjo pun mencium akik Simbah. Kecup, kecup.
“Ada yang berutang ke kowe, Kid. Namanya Jamlikun. Kasihan dia. Kata istrinya, centengmu saban hari meneror kontrakannya sampai si istri ini minggat ketakutan dan malu. Si Jamlikun ini sedang nggak punya gawean, wahai Jordy. Anaknya masih bayi. Rumah lamanya baru saja kena gusuran tanpa kompensasi. Nah, keperluanku kemari yakni untuk minta tolong kowe nolken saja utangnya. Demi kemanusiaan yang adil dan beradab. Kowe bersedia?”
“Baiklah, Mbah.”
“Ikhlas?”
“Banget, Mbah.”
“Bagus. Kalau begitu, ambillah uang ini,” ujar Simbah sembari menyerahkan amplop besar berisi uang sejumlah utang Jamlikun. Isinya sembilan belas juta dua puluh ribu rupiah. Yang 20.000 perak itu disiapkan Simbah buat ongkos pulang naik angkot. Disisihkan dan digeletakkannya di atas meja. Amplopnya ia sodorkan.
“Lho, katanya minta dihapuskan, kok malah dibayar? Simbah ini bego atau gimana, sih?”
Mukidjo kena tampar. Giginya copot lima. Lalu hening. Kompo yang memutar lagu Lebih Baik Sakit Gigi karya Meggy Z dari kamar Mukidjo pun terdengar mengalun sebagai ilustrasi.
“Aku menghargai ketulusanmumu memutihken utang Jamlikun. Dan karena aku juga menghargai niatmu buat keluar dari bisnis judi, maka baiknya kubayarken utang itu. Kebetulan aku punya duit. Anggap wae hadiah. Jadi pakai saja duit yang sedikit ini buat bantu-bantu menerusken cita-citamu bikin rental helikopter. Yang penting halal. Paham maksudku?”
“Pwahwam, Mbwah.”