Mbah Jumbleng tergolek di ruangan aneh. Cahaya yang disemprotkan tepat ke atas tubuhnya menyilaukan. Lampu itu bertudung lebar. Tudung yang terhubung pada tiang tebal berlapis krom menyiratkan ia terbuat dari logam berat.
Orang-orang yang mengelilinginya berseragam hijau. Prosedur anestesi telah dilakukan dan Simbah perlahan mengantuk. Namun tak tidur. Ia hanya 'ngantuk.
Dokter mulai melakukan prosedur lain ke bagian abdominal—yang tak terpantau lagi karena terhalangi perut buncitnya sendiri.
Simbah tak kesakitan sedikit pun. Ketika pisau membuat irisan ia bahkan tak merasakan dinginnya baja antikarat menyentuh kulitnya. Ia menjelma trenggiling purba yang renta.
Ah, kirain operasi usus buntu itu ngeri. Jebule geli pun tidak. Dan sepertine aku ndak bakalan mati hari ini. Soale nek bakal mati aku mesthi punya penerawangan. Memori-memori bakal melintas, kaya jagoan pilem pas mau tewas. Tapi aku blank-blank saja, je. Aku ndak kelingan wajah simbokku yang semakin cantik waktu beliau dulu membeliken apem sarsaparila di masa kecilku. Momen trengginas pas ’nembus SDSB empat angka pun ndak terbayang jadi slide show.
Satu-satune bayangan bukan datang dari masa lalu melainken dari masa depan.
Aku membayang-ken perutku ditanami mikrocip canggih dengan sinkronisasi langsung ke korteks otak, lewat kabel saraf. Lantas aku siuman sebagai cyborg. Dokter ini jadi pengendali akalku. Dan aku ndak mampu menghapus program-e, sebab aku kadung diprogram untuk ndak melawan program. Weh. Mengerikan....
Aku bisa disetir berbuat apa wae, seperti meledakken diri ke kerumunan orang bersafari di Senayan. Atau membajak Metromini, menyandera penumpange dan minta tebusan sejuta poundsterling dari Organda. Lalu aku asal saja mengaku-aku awak ini orang Irlandia Utara. Maka tawuranlah Bang Togar cs lawan IRA.
Duh, paringana slamet, Gusti. Semoga cip itu dirakit di Sichuan, kaya televisi hamba. Disetel sebelas kali tabunge njeblug kebakaran. Hamba pun merdeka dari conthongane TV-One....
***
Peristiwa berikutnya hanya terpantau pemilik tujuh indera. Mohon maaf, lima tak memadai. Sebab yang terjadi tak dapat diterangkan prinsip mekanika Newton. Halah....
Ini bukan bercanda.
Simbah sungguh kesal karena tak bisa melihat apa-apa. Harusnya ia tidur saja layaknya kelinci lain jika diberi bius dosis normal. Apesnya, ia tak pingsan-pingsan juga.
Harusnya eternit itu dipasangi cermin, dong! RS internasional mbelgedhes. Bayar mahal, tapi ndak bikin puas. Wong di barbershop Madura saja biar cuma bayar ceban tapi pelanggan boleh lihat langsung kerjaan tukange liwat cermin ganda....
Saking jengkelnya Simbah akhirnya bikin keputusan take off.
Sebagian sukmanya ia pisahkan dari raganya. Perlahan, seperti kobra berganti kulit. Sakitnya bukan kepalang.
Begini, Sedulur-sedulur. Perjalanan astral, yaitu perjalanan yang melibatkan pengalaman seakan kesadaran beralih ke-luar-tubuh, dewasa ini telah dan sedang diteliti akademisi. Mereka psikiater, pelaku ritus babi ngepet, produser Hollywood, analis biokimia et cetera.
Perjalanan astral memang fenomena universal. Peradaban manapun menyimpan cerita terkait pengalaman ini. Bahkan syahdan bidang ini semakin giat dipelajari para punggawa dinas rahasia negeri jiran terdekat kita, Monarki Laut Selatan, karena dianggap metode spionase mengesankan.
Tapi jangan mudah percaya begitu saja, ya.
Bagi yang yakin perjalanan astral itu ada, tantanglah mereka yang tak percaya dan perjuangkanlah secara empiris. Ilmu teoretis maju bukan dengan cara membalsem dogma tetapi dengan melayani kritik. Survivalitas bergantung pada kesabaran para pendukung untuk membentengi diri dari kritisisme sembari menyusun dalil tak terbantahkan.
Makanya kata beberapa orang waras ilmu ekonomi, politik dan hukum kini almarhum. Ketiganya tak menjelaskan apa-apa lagi. Tak ada jawaban untuk pertanyaan kritis macam kenapa dunia timpang luar biasa begini, kenapa demokrasi justru menasbihkan tiran sableng yang hobinya memerangi orang miskin, dan kenapa hukum internasional ikut-ikutan motor bebek, berstandar ganda.
Bahkan fisika yang dulunya begitu eksak pun sudah ber-subjudul ”kuantum” dan ”astrofisika” di zaman ini. Kemayaan dan realitas tumpang-tindih tak karu-karuan di dalamnya. Macam gaibnya tarian elektron yang terbang mendekati kecepatan cahaya dalam orbit menggila di sekeliling tiap inti atom, atau seperti gaibnya genesis jagad raya ini sendiri, maka keajaiban dipaksa me-lumrah. Dan keajaiban selalu belum terperikan. Karenanya ia dinamai keajaiban.
Jadi silakan tak bersetuju pada pernyataan ”Mbah Jumbleng punya ilmu astral gaib” jika Saudara sejak awal tak memercayai keajaiban. Boleh jadi Simbah sebetulnya sedang fly saja. Ruhnya tetap ’ngendon di badan. Cuma otaknya saja yang keracunan halusinogen.
(Oh, nyaman belaka rasanya bisa ngelantur kagak ada juntrungannya, tebar pesona sok intelek. Inilah salah satu kenikmatan ber-Kompasiana)
Kini Simbah mengelilingi ruangan. Berjingkat-jingkat. Salto di udara. Kadang bergaya Gatotkaca kiprah; kadang moonwalking.
Ia nangkring di kaki meja operasi. Diperhatikannya setiap detail yang diterapkan tim bedah ke tubuhnya dengan gairah kepenasaranan. Namun sayang observasi itu dirusak satu peristiwa.
Bokong asisten bedah, tanpa didahului peringatan waspada dari BMKG, sekonyong-konyong meletus dengan durasi 3,14 detik. Suaranya berawal rendah, lalu menanjak tajam menjelang ending. Tuuuw-wiiit. Ini yang namanya kentut kresendo.
Sontoloyo kowe! Perutku wis ngablak begitu! Kalau infeksi, piye!?—Simbah berseru-seru.
Tentu sang asisten tak mendengar apa-apa. Angin dari mulut Simbah pun tidak. Ia dengan cool melanjutkan tugas mengambilkan apa saja yang diminta bosnya—seorang ahli bedah senior, agaknya, jika ditilik dari gaya flamboyan kelelakiannya.
Penjepit pembuluh, Dik. Sang asisten segera mengambilkannya. Sterilizer, Beib. Dia ambilkan. Kabel busi, Hun. Dia ambilkan. Minak Djinggo, Cin. Dia ambilkan pula sekalian koreknya. Bahkan ketika meminta es kelapa pun asisten sregep ini juga memesankannya dengan berteriak kencang sekali dari bibir jendela kepada abang-abang yang mangkal di seberang RS, sampai berasap kerongkongannya.
Eniwey, Simbah kini didera penganiayaan berat.
Yang sengsara bukan Simbah terbedah tetapi Simbah yang gentayangan. Ia yang tadi hang out di meja operasi pun terpaksa menyingkir—demi eksotisme aromaterapi yang berkumandang dari perut turis-kuliner-sambel-pete merangkap asisten bedah.
Oya, maaf, kami harus meluruskan. Simbah tak hanya mengalami halusinasi visual, dhing. Berhubung mendengar bebunyian maka ia harus disebut mengalami halusinasi auditori pula. Ia mengenyam halusinasi visual-auditori. Sayang, agaknya kita sulit menggolongkan halusinasi tipe apa gerangan sebagai rujukan untuk perihal mengendus kentut.
Akhirulkalam, saat perhelatan sayat-rogoh-potong-obras itu mencapai durasi 2 jam 12 menit, lakon pun usailah sudah. Luka Simbah telah terjahit rapi. Ia memang tak lengkap menyaksikan semua prosesi akibat interupsi pencemaran biosfer tadi. Namun ia yakin sekali perutnya tak ditanami cip. Ia sumringah. Maka sukmanya pun didaratkannya lagi ke tubuhnya. Perlahan kepala halusnya ia suruk-surukkan ke pangkal paha Mbah-betulan yang tergolek itu. Ia godek-godekkan agar penetrasinya lancar. Begitu kepala masuk, akan mudah bagi batang-tubuhnya melanjutkan.
Sleb! Clebut! Dan masuklah ia; tanpa perdarahan. Raga dan sukmanya kembali berserikat. Senyumnya tersungging manis dan Simbah pun tidur nyenyak bagai bayi dibuai malaikat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H