Ayah! Apa maksudnya ini? Bennosuke tidak menjawab. Ia terus menundukkan kepalanya. Ia bermaksud menggelengkan kepalanya ketika …
“Jawab, Bennosuke!” Munisai berkata dengan keras.
Akhirnya ia memutuskan untuk tetap berdiam diri sementara waktu. Ia harus memikirkan kata-kata yang tepat agar ayahnya mau mengubah keinginannya yang tidak masuk akal itu.
“Kalau kau memang memahami apa yang kaukatakan, dan kau memang bisa melakukannya, silakan buktikan.”
Bennosuke menatap ayahnya dengan bingung. Memangnya apa yang kukatakan? Aku tidak pernah mengatakannya pada Ayah!
Ia ingat betul selama ini ia hanya berdiskusi dengan Dorin – tidak pernah ia membahas masalah murid-murid ayahnya dengan orang lain. Dan ia percaya, Dorin tidak akan pernah mengatakan apa yang mereka bahas itu kepada ayahnya.
“Kaupilih salah satu muridku yang kau anggap paling payah. Bertarunglah dengannya,” kata Munisai seolah-olah mengingatkan Bennosuke akan apa yang barusan dikatakannya.
Bennosuke terkejut. Sepertinya Ayah serius ingin aku bertarung dengan salah seorang muridnya.
Apa yang ia lakukan sebenarnya hanyalah mengamati murid-murid ayahnya dan bermaksud mendiskusikannya dengan Dorin. Walaupun pada awalnya ia memiliki keinginan untuk melakukan latih tanding dengan mereka, toh akhirnya ia mengurungkan niatnya itu. Lagipula, bukankah hal itu juga penting baginya untuk memahami praktik teknik berpedang – bukannya sekadar teori?
Dibandingkan menilai kemampuan bertarung para penantang ayahnya, tentu saja lebih mudah menganalisis kemampuan berpedang murid-murid ayahnya.
Dia masih terdiam.