“Duduk,” perintahnya kepada Bennosuke.
Bocah itu segera duduk bersimpuh di hadapan ayahnya.
“Bagaimana pendapatmu mengenai murid-muridku?” tanya Munisai langsung tanpa berbasa-basi.
“Eh?” Bennosuke yang ditanya seperti itu menjadi terkejut dan tidak mampu menjawab. Apa maksud Ayah?
Munisai tahu Bennosuke suka membicarakan murid-muridnya dan mengkritik mereka di hadapan Dorin. Beberapa kali Munisai memergoki anak itu sedang berdiskusi dengan Dorin mengenai teknik pedang empat orang muridnya ‘yang itu’. Saking serunya, Bennosuke tidak menyadari ayahnya sudah berdiri cukup lama di belakangnya dan mendengar semua yang ia katakan. Munisai tentu saja memberi isyarat kepada Dorin agar tidak memberitahukan bocah itu mengenai kehadirannya di situ. Setelah ia merasa cukup mendengarkan apa yang dikatakan anaknya itu, Munisai segera bergegas meninggalkan kedua orang itu.
Begitulah yang terjadi, selama beberapa kali Munisai muncul dengan diam-diam dan mendengarkan Bennosuke membahas teknik berpedang empat orang muridnya ‘yang itu’ sampai akhirnya ia berkesimpulan apa yang dikatakan anak itu memang mengandung kebenaran.
Munisai mengakui pengamatan Bennosuke yang cukup tajam untuk seorang anak berusia delapan tahun. Ia bisa menduga kemampuan menganalisis Bennosuke berkembang pesat semenjak putranya itu secara teratur menyaksikan pertarungannya dengan para pendekar yang menantangnya.
Dibandingkan kemampuan bertarung mereka yang menjadi penantangku, kemampuan murid-muridku bisa dikatakan seperti orang yang baru belajar memegang pedang.
Namun demikian Munisai tidak memperlihatkan ekspresi apa pun di wajahnya. Saat ini ia memandang Bennosuke dengan tatapan mata seolah-olah menuntut bocah itu untuk menjelaskan apa yang telah dilakukannya – menilai kemampuan keempat orang muridnya ‘yang itu’.
“Bisakah kau mengalahkan salah seorang muridku? Kau bebas memilih siapa yang ingin kau jadikan lawan tandingmu.”
Pertanyaan Munisai yang tiba-tiba itu betul-betul mengejutkan Bennosuke.